Krjogja-com - YOGYA – Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dikenal sebagai wilayah dengan risiko bencana tinggi. Namun, bagi Anggota Komisi A DPRD DIY dari Fraksi PKS, Sigit Nursyam, kerentanan tersebut bukan alasan untuk menyerah. Sebaliknya, kesiapan masyarakat dan pemerintah dapat meminimalkan dampak yang ditimbulkan.
“DIY memang berada di atas daerah rawan bencana, tapi dengan kesiapan yang baik, kita bisa menekan risiko tersebut,” ujar Sigit kepada media ini.
Ia mengingat kembali pengalaman saat gempa bumi mengguncang Bantul pada 2006. Menurutnya, meski saat itu Indonesia belum memiliki pengalaman luas dalam pelibatan masyarakat di penanganan bencana, respon cepat justru muncul dari tingkat akar rumput.
“Partisipasi masyarakat terbuka lebar. Saya saat itu menjadi relawan tim data dan informasi. Kami mendata wilayah terdampak, jumlah korban, hingga kerusakan. Dari data inilah pemerintah bisa menyalurkan bantuan secara tepat sasaran,” jelasnya.
Sigit menekankan pentingnya sistem data yang akurat dalam situasi krisis. Menurutnya, banyak bantuan yang tidak efektif karena tidak mengetahui wilayah prioritas. “Banyak yang mau membantu, tapi karena tidak tahu medan, hanya mendistribusikan bantuan di tempat yang mereka tahu. Akhirnya tidak merata,” kata dia.
Ia menyebut pendekatan berbasis data tidak hanya relevan di Indonesia, melainkan juga menjadi tantangan global. Selain itu, partisipasi masyarakat dinilai sebagai faktor yang paling berdampak dalam mengurangi korban jiwa.
Baca Juga: Wujudkan Pilkada Sehat dan Berintegritas, Komisi A DPRD DIY Ajak Masyarakat Tolak ‘Money Politics’
“Dulu kita belajar dari Jepang. Di sana, masyarakat sudah sadar dan tanggap. Pemerintah juga menjadi lebih ringan karena masyarakat sudah lebih siap menghadapi bencana,” lanjutnya.
Di DIY, kesiapsiagaan bencana sudah menjadi bagian dari kultur. Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) hadir sebagai wadah partisipasi masyarakat hingga tingkat padukuhan. FPRB bersifat terbuka dan cair, memungkinkan semua elemen bergabung dan bekerja sama dalam semangat gotong royong.
“Kearifan lokal dan modal sosial yang kuat membuat penanganan bencana di DIY bisa dilakukan cepat dan tepat,” tegas Sigit.
Ia juga menyoroti pentingnya ketangguhan sekolah menghadapi bencana. Dengan lebih dari 604 ribu siswa dan sekitar 8.000 sekolah, kesiapan infrastruktur menjadi hal krusial. “Anak-anak menghabiskan delapan jam di sekolah. Maka sekolah harus aman dari ancaman bencana,” jelasnya.
Sigit mencontohkan pendekatan berbasis risiko lokal. Sekolah-sekolah di Dlingo, Bantul, misalnya, lebih rawan longsor, sementara sekolah di Kota Yogyakarta lebih berisiko kebakaran. “Pengurangan risikonya tentu harus berbeda, dan itu harus dipetakan dengan baik,” katanya.
Terkait keikutsertaan DIY dalam Open Government Partnership (OGP) Lokal bersama 150 wilayah lain di dunia, Sigit menganggapnya sebagai langkah maju. “Dengan OGP, masyarakat bisa lebih mudah mengakses informasi. Keterbukaan data ini membuat masyarakat lebih siap dan memperkuat partisipasi publik,” ujarnya.