80 Persen Susu dan 52 Persen Daging Sapi Masih Impor, MBG Butuh Sumber Protein Baru

Photo Author
- Minggu, 30 November 2025 | 15:10 WIB
Focus Group Recommendation: Rantai Pasok Inklusif Susu dan Protein MBG yang digelar BGN bersama KADIN DIY.
Focus Group Recommendation: Rantai Pasok Inklusif Susu dan Protein MBG yang digelar BGN bersama KADIN DIY.


KRjogja.com - YOGYA - Badan Gizi Nasional (BGN) menegaskan bahwa Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, terutama susu dan daging sapi. Hal ini disampaikan dalam Focus Group Recommendation: Rantai Pasok Inklusif Susu dan Protein MBG yang digelar BGN bersama KADIN DIY di Hotel D’Senopati, Yogyakarta, Jumat (28/11/2025).

Tim Pakar BGN Bidang Susu Epi Taufik menyebut bahwa 80 persen kebutuhan susu nasional masih harus didatangkan dari luar negeri, sementara 52 persen pasokan daging sapi juga bergantung pada impor. Menurutnya, kondisi ini menjadi tantangan serius bagi Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang membutuhkan pasokan protein stabil dan terjangkau.

“Ayam dan telur kita sudah relatif aman, tetapi susu dan daging sapi masih defisit besar. Jangan sampai MBG justru membuat impor makin tinggi,” ujar Epi.

Baca Juga: Malioboro Culture Vibes 2025: Ruang Publik Budaya yang Tertib, Nyaman, dan Aman

Epi menambahkan bahwa ketergantungan impor ini memiliki implikasi langsung terhadap kualitas pangan anak-anak. Ia mengaitkan rendahnya konsumsi protein hewani Indonesia dengan sejumlah indikator sumber daya manusia, mulai dari angka wasting hingga capaian PISA dan IQ nasional.

“Konsumsi protein hewani kita terendah di ASEAN. Dampaknya terasa pada kualitas SDM,” ucapnya.

Dalam forum tersebut, salah satu pihak yang menawarkan solusi adalah perusahaan teknologi pangan Malaysia, Ultimeat (M) Sdn Bhd, melalui produk microprotein berbahan singkong dan gula. Founder dan CEO Ultimeat Edwin Lee mengatakan bahwa seluruh bahan baku dapat dipenuhi dari petani lokal, sehingga tidak menambah impor.

“Kami menawarkan protein alternatif yang sepenuhnya bisa diproduksi di dalam negeri,” kata Edwin.

Baca Juga: Ada 'Kementerian' Baru di Kabinet Pakubuwono XIV Hamangkunegoro, Apa Itu?

Microprotein Ultimeat dijual di kisaran US$3,5 per kilogram atau sekitar Rp56.000, jauh lebih murah dibanding harga rata-rata ayam (Rp40.000–60.000/kg), daging kambing (Rp120.000–140.000/kg), dan daging sapi (Rp130.000–160.000/kg). Edwin menjelaskan bahwa harga microprotein relatif stabil karena berbasis fermentasi dan tidak bergantung pada fluktuasi pakan, cuaca, atau siklus panen ternak.

“Harga ayam dan sapi naik-turun, tapi microprotein sifatnya konsisten dan bisa diproduksi dalam tujuh hari,” ujarnya.

Ultimeat menyatakan kesiapan berinvestasi hingga Rp10 triliun untuk membangun dua pabrik besar di Lampung dan Malang dan skala 10 persennya di Yogyakarta. Masing-masing fasilitas bernilai US$300 juta dan membutuhkan dua juta ton singkong serta satu juta ton gula per tahun dan di Yogya hanya perlu 5-10 persen skala.

Edwin menjelaskan bahwa untuk tahap awal, perusahaan hanya membutuhkan serapan sekitar 15.000 ton microprotein per tahun, sementara kapasitas penuh dapat mencapai lebih dari 120.000 ton.

Baca Juga: Wacana 6 Hari Sekolah di Jateng: Tegas Ditolak PGRI, Wagub Masih Ragu

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

KRISNA, Ruang Apresiasi Kerja Kolektif Civitas Akademika

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:15 WIB

Olah Limbah Tanpa Bau, SPPG Playen Gunakan Bioteknologi

Minggu, 21 Desember 2025 | 15:50 WIB
X