MUSIK merupakan salah satu bentuk komunikasi karena merupakan hasil ekspresi perasaan, ataupun peristiwa yang terjadi. Selain itu, juga terikat dengan kondisi masyarakat dan budaya tertentu. Sebagai salah satu bentuk seni, musik memainkan peran dalam setiap masyarakat. Musik juga memiliki sejumlah gaya yang merupakan ciri wilayah geografis atau sebuah penanda era sejarah. Bisa dikatakan musik menjadi ruang percakapan bagi pendengarnya.
Hal itu yang disampaikan dosen Ilmu Komunikasi Universitas Amikom Yogyakarta, Rr Pramesthi Ratnaningtyas, pada ‘Peningkatan Pemahaman Jurnalisme Musik: Dulu dan Kini’, melalui live instagram @musikjogja, Rabu (2/9/2020). Pada kesempatan tersebut, juga hadir jurnalis sekaligus admin @musikjogja, Swadesta A Wasesa. Acara tersebut merupakan program Pengabdian Masyakarat Dosen Universitas Amikom Yogyakarta dengan mitra @musikjogja.
“Tidak sedikit band atau musisi yang menelorkan karya, kemudian diliput dan diberitakan media. Jurnalis kebanyakan terjebak pada informasi yang cenderung kulit. Rilis yang diberikan pihak musisi seharusnya hanya menjadi panduan bagi wartawan. Sayangnya, kebanyakan press release ditulis kembali secara mentah-mentah oleh wartawan dari media arus utama. Jurnalis tidak mengupas lebih dalam. Padahal musik juga bisa diulas dari ilmu lain yang menyertainya,†jelas Pramesthi.
Ditambahkan Swadesta, jurnalisme musik lahir dari jurnalisme interpretatif. Sebagaimana kebanyakan jenis jurnalisme, jurnalisme musik selain untuk menyampaikan informasi, juga berfungsi sebagai wahana edukasi. Jurnalisme musik juga memiliki karakter tersendiri dalam penggunaan istilah. Contohnya, saat konser musik rock atau punk, penonton saling tubruk, mosing maupun headbang untuk menikmati musik yang dihadirkan. Kondisi tersebut, bukan berarti berkelahi tapi tanda keakraban dalam scene musik punk.
Dalam karya musik, lanjut Swadesta, terdapat instrumen, irama, melodi, tangga nada, dan sebagainya. Saat jurnalis tidak tahu apa yang harus dituliskannya tentang karya, arransement, penampilan suatu musisi secara teknis, maka bisa menggunakan perspektif lainnya. Perspektif yang menjelaskan musik tidak berdiri sendiri. Musik membawa semangat zaman, mereplika peristiwa, mengalisis sampai meramalkan (masa depan). Contohnya, Iwan Fals dengan lagu Ujung Aspal Pondok Gede yang mereplikasi bagaimana perkampungan di Jakarta dirobohkan untuk proyek pembangunan besar.
Jurnalis, lanjut Pramesthi, sebenarnya tidak perlu ada menjaga jarak dengan musisi, band atau manajemen artisnya. Jurnalis harus bisa menempatkan diri, kapan menjadi kawan dan kapan menjadi insan profesional dari profesi yang ditekuninya. Saat sebagai teman, jurnalis bisa dekat dengan personel band, musisi ataupun manajemen artis. Duduk, ngopi bareng, ngobrolin permasalahan atau peristiwa di sekitar. Berbeda saat musisi atau band menelurkan karya atau konser, tulisan yang dihadirkan tidak melulu menyanjung, tapi juga mengkritik sebagai salah satu bentuk apresiasi.(*)