Jika puasa diproyeksikan untuk membentuk perangai serbautama seperti itu, maka akan menjadi mi'raj ruhaniah; yakni proses naik tangga spiritual ke puncak tertinggi selaku insan muttaqin menuju terwujudnya keadaban utama dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan kemanusiaan universal.
Karenanya puasa harus dijadikan jalan spiritual mengubah perilaku menjadi insan tercerahkan. Mereka yang lulus puasanya mampu menahan diri sekaligus mengambil jarak dari pengaruh nafsu duniawi agar tidak dikuasai dunia tetapi menguasai dunia. Dunia itu penting tetapi harus dibingkai nilai-nilai dasar Islam yang utama sehingga memberi makna dan fungsi yang mulia.
Puasa harus berhasil menjadikan diri sebagai insan yang mengambil jarak dari dunia, tidak menjadi budak dunia. Dunia sebagaimana disimbolkan dalam nafsu makan, minum, dan kebutuhan biologis harus disikapi dengan nilai utama dan bermakna. Dunia menjadi sarana menuju hidup akhirat yang bahagia dan selamat. Dunia menjadi tempat mengolah kehidupan yang bermakna. Itulah alam pikiran yang mencerahkan.
Kita dibolehkan makan, minum, dan pemenuhan kebutuhan biologis sebagaimana mestinya. Kendati dihalalkan, seyogyanya pemenuhan hasrat alamiah itu dilakukan secara baik dan tidak berlebihan. Sebab apalah artinya berpuasa manakala tidak melahirkan perubahan perilaku yang terkendali sebagaimana firman-Nya: "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan" (QS Al-A'raf: 31).
Maka, jadikan puasa bulan Ramadan sebagai transformasi menuju perilaku utama yang tercerahkan. Jangan sampai puasa sekadar rutinitas ibadah belaka tanpa perubahan perilaku menuju keutamaan. Nabi bahkan memberi peringatan, yang artinya: "Banyak orang yang berpuasa, tiada hasil puasanya kecuali lapar dan dahaga" (HR Nasai, Ibn Majah, dan Hakim). Semoga kita insan muslim yang berpuasa dijauhkan dari puasa verbal tanpa makna seperti itu.(*)