KRjogja.com - DALAM catatan sejarah disebutkan bahwa ketika tim Belanda menemukan Candi Borobudur pada awal abad ke-19 ternyata tidak langsung diumumkan ke publik. Pemerintah kolonial khawatir, kemegahan candi Buddha terbesar di dunia ini bisa membangkitkan semangat nasionalisme dan kebanggaan budaya lokal di kalangan rakyat Jawa.
Mengutip dari laman Dinas Kebudayaan DIY, candi Borobudur ditemukan kembali pada tahun 1814 oleh tim ekspedisi yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles. Saat itu, kondisi candi tertutup semak belukar dan material vulkanik.
Akan tetapi, setelah Belanda kembali berkuasa di Jawa, informasi tentang penemuan ini sengaja tidak disebarluaskan. Pemerintah kolonial Belanda memiliki alasan politis untuk merahasiakan penemuan ini.
Baca Juga: KA Jayakarta Dilempar Batu, Begini Tanggapan Daop 6 Yogya
Borobudur dianggap sebagai simbol kejayaan peradaban masa lalu Nusantara yang bisa menginspirasi perlawanan terhadap penjajahan. Pada masa itu, Belanda sedang gencar menanamkan anggapan bahwa masyarakat pribumi adalah bangsa terbelakang yang perlu dibimbing.
Baru pada tahun 1835, setelah dilakukan pembersihan awal, pemerintah kolonial mulai mempublikasikan keberadaan candi ini. Bahkan kemudian, foto-foto Borobudur mulai beredar di Eropa pada pertengahan abad ke-19.
Baca Juga: Bukti Kuat Kehidupan Alien di Planet Lain Ditemukan, Ada Manusia Masa Depan?
Proses pemugaran besar-besaran baru benar-benar dimulai pada awal abad ke-20 di bawah pimpinan Theodor van Erp. Pemugaran ini memakan waktu puluhan tahun karena kompleksitas struktur candi yang terdiri dari 2 juta balok batu andesit.
Sebelum ditemukan oleh Raffles, keberadaan Borobudur seolah hilang dari ingatan kolektif masyarakat Jawa selama berabad-abad. Candi Borobudur mengalami masa terlupakan selama berabad-abad karena beberapa penyebab.
Baca Juga: Sat Reskrim Polres Sukoharjo Ungkap Kasus Curat di Bengkel AC Mobil
Pusat kekuasaan berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur pada abad ke-10, sehingga wilayah Borobudur tidak lagi menjadi pusat kegiatan penting. Bencana alam seperti letusan gunung berapi juga mengubur sebagian candi dan membuat penduduk setempat pergi dari daerah tersebut.
Selain itu, masyarakat Jawa beralih dari agama Buddha-Hindu ke Islam, sehingga pengetahuan tentang candi semakin berkurang. Budaya lisan masyarakat Jawa kuno yang tidak meninggalkan banyak catatan tertulis tentang bangunan ini turut menyebabkan hilangnya informasi.(*)