Sebagai sebuah karya sastra historis, isi Babad Tanah Jawi terbilang cukup unik dan menarik untuk diulas.
Sebagai contoh, penelitian Bayu Aji Nugroho dan Alfian Rokhmansyah (2019) menemukan bahwa cerita dalam Babad Tanah Jawi mengandung unsur-unsur kekerasan terhadap wanita.
Selain itu, isi dari Babad Tanah Jawi juga memunculkan informasi yang bertolak belakang dengan Negarakertagama, utamanya dalam sejarah Majapahit.
Majapahit dalam Babad Tanah Jawi
Prapanca di dalam mahakaryanya Negarakertagama, melukiskan Majapahit sebagai kerajaan besar dengan raja "gung binantara" Hayam Wuruk.
Citra Majapahit dalam kitab tersebut digambarkan dengan sangat ciamik dan positif lewat berbagai kelebihan dan keunggulannya.
Namun, di dalam Babad Tanah Jawi, keagungan Majapahit itu sama sekali tak disebutkan.
Majapahit hanya dilukiskan sebagai kerajaan kecil dengan pengaruh yang biasa saja.
Apalagi, raja terakhir Majapahit, Brawijaya, disebut-sebut sebagai sosok raja yang lemah serta mengidap penyakit kelamin raja singa (sifilis) yang berbahaya.
Kontradiksi penggambaran Majapahit dalam Negarakertagama dan Babad Tanah Jawi sebenarnya merepresentasikan perang opini politik dari dua kerajaan di era berbeda.
Negarakertagama yang lahir di masa kejayaan Majapahit hendak mengunggulkan pencapaian yang berhasil digapai.
Sementara, Babad Tanah Jawi yang baru muncul di masa Mataram Islam jelas ingin memuja Mataram ketimbang kerajaan-kerajaan lain.
Karenanya, citra Majapahit tak bersinar agung itu di dalam cerita Babad Tanah Jawi. Sebaliknya, Majapahit justru tampil agak kerdil.(*)