Sumbu Filosofi Yogyakarta, yang dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO bertajuk lengkap 'The Cosmological Axis of Yogyakarta and Its Historic Landmarks', diakui sebagai warisan dunia karena dinilai memiliki arti penting secara universal. Konsep tata ruang yang dikenal sebagai Sumbu Filosofi Yogyakarta itu dicetuskan pertama kali oleh Raja Pertama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada abad ke-18.
Konsep tata ruang ini dibuat berdas arkan konsepsi Jawa dan berbentuk struktur jalan lurus yang membentang antara Panggung Krapyak di sebelah Selatan, Kraton Yogyakarta, dan Tugu Yogyakarta di sebelah utara.
Struktur jalan tersebut berikut beberapa kawasan di sekelilingnya yang penuh simbolisme filosofis merupakan perwujudan falsafah Jawa tentang keberadaan manusia yang meliputi daur hidup manusia (Sangkan Paraning Dumadi). Kehidupan harmonis antar manusia dan antara manusia dengan alam (Hamemayu Hayuning Bawana), hubungan antara manusia dan Sang Pencipta serta antara pemimpin dan rakyatnya (Manunggaling Kawula Gusti), serta dunia mikrokosmik dan makrokosmik.
Beragam tradisi dan praktik budaya Jawa, baik dalam pemerintahan, hukum adat, seni, sastra, festival, dan ritual, masih dilakukan di sekitar kawasan Sumbu Filosofi pada khususnya dan di Yogyakarta pada umumnya. Semua itu merupakan bukti akan peradaban Jawa dan tradisi budayanya yang masih terus dilestarikan sampai sekarang.
Sebelum pada akhirnya dinominasikan dan ditetapkan sebagai warisan dunia dalam sidang Komisi Warisan Dunia UNESCO, situs-situs warisan budaya telah melalui proses seleksi yang panjang. Sidang Komisi Warisan Dunia UNESCO dilakukan pertama kali pada tahun 1972 dan bertujuan untuk mempromosikan kerja sama antar negara untuk melindungi warisan budaya dan alam dari seluruh dunia yang memiliki Nilai Universal yang Luar Biasa (Outstanding Universal Values) sehingga konservasinya penting bagi generasi sekarang dan yang akan datang. (Ria/Ira)