Krjogja.com Yogya -Pemerintah akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai tahun depan (2025). Kenaikan sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Sebelum kebijakan tersebut nantinya benar-benar diterapkan alangkah baiknya apabila pemerintah kembali secara matang. Karena kenaikan PPN bisa meningkatkan harga barang dan jasa di pasar, yang otomatis melemahkan daya beli rakyat, terutama kelompok berpenghasilan rendah.
"Saya kira kebijakan tersebut perlu dipertimbangkan kembali. Pasalnya meski kenaikannya hanya 1 persen, tapi akan berdampak terhadap kesejahteraan secara menyeluruh, karena kenaikan itu memiliki efek domino atau efek turunan. Yang jelas adalah pada saat ini daya beli masyarakat (konsumen) yang sedang menurun akan semakin tercekik. Begitu pula para pelaku usaha (UMKM) akan terdampak signifikan," kata pengamat ekonomi sekaligus dosen Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana Yogyakarta (UMBY), Widarta, MM CDMP di Yogyakarta, Kamis (21/11).
Baca Juga: Ratusan Knalpot Brong Diamankan Polsek Kartasura
Widarta mengatakan, apabila kebijakan 12 persen tetap akan diterapkan pada 1 Januari 2025 maka, pemerintah harus menjaga perekonomian masyarakat tetap bergerak. Salah satuanya adalah adanya insentif, subsidi dan bantuan /hibah kepada masyakart maupun UMKM. Sehingga kontaksi ekonomi bisa dicegah, Insentif/subsidi dan bantuan bagi masyarakat maupun pelaku usaha (UMKM) bisa menjadi daya dukung masyarakat untuk beradaptasi dengan beban pajak yang naik.
"Kalau pajak 12 persen tahun 2025 nanti tetap diterapkan, diharapkan mampu memberikan manfaat lebih besar dibandingkan dengan beban yang harus ditanggung masyarakat akibat kenaikan PPN 12 persen. Target pertumbuhan ekonomi mencapai 8 persen dari pemerintahan Presiden Prabowo, membutuhkan APBN yang besar, yang mungkin dua kali lipat dari APBN," ungkapnya.
Lebih lanjut Widarta menambahkan, seandainya kebijakan pajak 12 persen diterapkan UMKM berisiko mengalami penurunan omset (penjualan) yang signifikan. Karena konsumen tidak mampu membeli (daya beli rendah) yang mengakibatkan ketidakmampuan UMKM untuk mempertahankan arus kas dan keseimbangan keuangan usaha mereka. Artinya akan berdampak pada jutaan UMKM dan disana ada pekerjanya yang menggantungkan hidupnya di UMKM tersebut. Apabila dipaksakan akan membebani ekonomi masyarakat.
Baca Juga: 500 Kiai dan Nyai Sebut Harda-Danang sebagai Pilihan Tepat untuk Sleman Baru
"Penyumbang terbesar penerimaan APBN kita, memang dari pajak. Tapi, menaikkan PPN saat ini tidak tepat karena di tengah ekonomi yang sedang lesu. Untuk itu alangkah baiknya kebijakan ini perlu dipertimbangkan kembali. Pemerintah perlu mengoptimalkan sumber penerimaan lain ketimbang menaikkan PPN menjadi 12 persen. Misalnya perbaikan system pajak yang tepat sasaran dan mengurangi kebocoran-kebocoran," paparnya. (Ria)