Krjogja.com - YOGYA - Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah, yang meliputi pemangkasan belanja, dapat memiliki dampak yang beragam terhadap pertumbuhan ekonomi.
Secara umum dampak dari kebijakan ini adalah daya beli masyarakat mengalami tekanan, porsi kelas menengah menyusut dari 21,24 persen tahun 2019 menjadi 17,13 persen pada akhir tahun 2024. Artinya sekitar 9,48 persen juta orang Indonesia mengalami penurunan status ekonomi.
Baca Juga: Petugas Berjibaku Bantu Jemaah Haji, Tidak Terkecuali Irjen Kemenag Gendong Jemaah
Kondisi itu masih diperparah dengan meningkatnya raso kredit macet (NPL) ke 2,19 persen yang menandakan adanya peningkatan resiko gagal bayar utama di sektor UMKM yg selama ini menjadi tulang punggung perekonomian.
"Kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah pusat memiliki tujuan bagus. Meski begitu pemerintah perlu memikirkan mitigasi resiko untuk pelaku ekonomi yang terdampak. Hal itu penting untuk memastikan bahwa program-progam unggulan misalnya makan bergisi gratis hingga swasembada pangan dapat mengkompensasi dampak negatif yang ditimbulkan dari penghematan tersebut," kata pengamat ekonomi sekaligus dosen Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana Yogyakarta (UMBY), Widarta, MM CDMP di Yogyakarta, Senin (9/6).
Widarta mengungkapkan, disatu sisi, efisiensi dapat meningkatkan efektivitas penggunaan anggaran, mengurangi utang negara dan mendorong investasi di sektor strategis.
Baca Juga: PSIM Serahkan Replika Piala Liga 2 Pada Sultan HB X
Apabila hal itu dilaksanakan dengan baik bisa mendukung pertumbuhan ekonomi. Sedangkan di sisi lain, pemotongan anggaran yang berlebihan dapat mengurangi daya beli masyarakat, menghambat proyek infrastruktur, dan memperlambat pemulihan ekonomi. Khususnya dalam pengurangan tenaga kerja (PHK).
"Baiknya, pemotongan anggaran ini tidak berdampak pada belanja pegawai maupun program bantuan sosial (bansos). Artinya dari sisi gaji pegawai maupun bantuan sosial tidak terjadi pengurangan,"ungkapnya.
Lebih lanjut Widarta mengungkapkan, adanya kebijakan efisiensi anggaran tidak dipungkiri telah menimbulkan dampak negatif bagi sektor bisnis yang selama ini bergantung pada kerja sama dengan pemerintah.
Misalnya perhotelan, pariwisata, catering yang selama ini lebih mengandalkan agenda-agenda pemerintah event-event seremonial pemerintahan. Apalagi beberapa pemerintah daerah juga sudah melarang kegiatan wisata atau tour ke luar wilayah.
Kondisi itu semakin menekan perkonomian masyarakat disektor tersebut. Dampaknya banyak yang terpaksa merasionalisasi dengan PHK.
Hal tersebut secara otomatis berdampak nyata bagi perekonomian masyarakat. Oleh karena itu agar bisa bertahan sektor-sektor tersebut harus terus berinovasi dan verisikasi agar dapat bertahan.
"Adanya liburan long weekend misalnya harus dimanfaatkan secara maksimal agar sektor wisata dan perhotelan mampu meraih profit untuk menutup kerugian akibat efisiensi," ujarnya. (Ria)