HAK cipta adalah masalah klasik di nusantara. Jejaknya masih cukup hangat, dari geger Orion dan Dardanella yang memperebutkan nama 'Miss Riboet' tahun 1930an hingga pedangdut Mansyur S yang kesulitan bayar listrik karena persoalan royalti. Peralihan media rekam, dari fisik (piringan hitam, kaset, CD) ke digital yang sangat cepat mewariskan banyak masalah, terutama informasi dan edukasi terkait hak cipta dan royalti yang belum banyak diketahui.
Dari titik yang kurang lebih sama, diskusi bertajuk "Musisi & Hak Cipta: Opo To Hak-mu Ki?" di Syini Kopi Kamis (10/6) malam. Diskusi yang digelar kawan-kawan pegiat musik Yogyakarta itu menghadirkan Meidi Ferialdi, Ketua Harian Wahana Musik Indonesia (WAMI) dan Bimas Tranggono selaku Ketua Prakarsa Antar Music Publishing Indonesia. Diskusi sendiri dihadiri puluhan musisi, wartawan, pegiat seni, peneliti, dan masyarakat yang tertarik terkait isu hak cipta.
Bimas misalnya, di awal langsung menjawab pertanyaan tentang apa saja hak yang harus disadari para pencipta musik. Menurutnya, ada dua aspek yang harus disadari musisi. Pertama hak individu terkait, lisensi, izin, dan royalti. Kedua, hak pencipta berupa hak individual (izin langsung ke pencipta, produser, pelaku pertunjukkan) dan hak yang menurut UU harus membayar royalti musik didistrubusikan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
"Hak kedua ini, yaitu pihak segala sesuatu yang membutuhkan dukungan lagu, enggak usah izin pencipta tapi mereka harus membayar royalti ke LMKI," papar Bimas.
Bimas juga memaparkan perbedaan karya cipta dan karya rekam dan mana yang beririsan dengan WAMI. Karya cipta timbul secara otomatis, pendaftaran ke negara bukan syarat perlindungan hak cipta. Misalnya pola notasi. Namun ketika pola notasi itu dimainkan ke dua atau banyak orang sudah dilindungi hak cipta karena sudah berupa pengumuman ke publik. Sementara karya rekam adalah bentuk akhir dari karya cipta. "Bukan berarti jika belum terdaftar ke negara tidak dilindungi hak cipta," tegas Bimas.
Sementara Meidi lebih banyak memaparkan tentang penjelasan sejumlah poin tentang UU Hak Cipta dan sedikit penjelasan tentang Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Sesuai UU Hak Cipta, Meidi memaparkan untuk mendapatkan hak ekonomi (khusus performing right) musisi harus menjadi anggota LMKI. Sementara sejumlah tempat usaha harus mengadakan perjanjian lisensi dengan LMK untuk pembayaran royalti untuk pengumuman hak cipta.
"Ada ketentua tarifnya, di PP yang kemarin heboh juga sudah diatur. Mereka bayar tarifnya ke LMK. Distribusinya, dari pemilik usaha tersebut mereka wajib memberikan data penggunaan data lagu yang sudah dimainkan. Ada kewajiban dalam perjanjian untuk melaporkan penggunaan. Sampai hari ini tidak semuanya memberikan data," beber Meidi.
Diskusi berjalan natural. Peserta bebas bertanya dan memberikan pendapat pada dua narasumber yang datang. Dipandu Alit Jabangbayi dan Patub 'Letto', Bimas dan Meidi diserbu banyak pertanyaan tentang nilai ekonomis karya musik dan persoalan lain apa yang mereka paparkan sehingga diskusi meluas, tidak hanya sebatas hak cipta saha. Muncul juga banyak pertanyaan soal. Kedua narsum mengurai perlahan banyak pertanyaan sekaligus memberikan contoh secara teknis, tentang persoalan klasik yang sudah muncul sejak zaman kompeni ini.(Des)