Krjogja.com - Rap dan metal selalu punya ruang liar masing-masing, dengan energi dan bahasa yang berbeda. Tapi ketika dua dunia itu disatukan, lahirlah sebuah ledakan. Bukan hanya soal mengisi satu trek kolaborasi, melainkan bagaimana dua entitas musik menyatukan roh mereka dalam satu album penuh.
Itu yang dilakukan D.P.M.B dan Serigala Malam, dua unit musik keras asal Yogyakarta yang hari ini resmi merilis album kolaborasi bertajuk “Ghettocore.”
Baca Juga: Messi Kembali, Miami Menang Lagi
Kolaborasi ini bukan sesuatu yang instan. Benihnya sudah ditanam sejak 2015, ketika Serigala Malam mengajak D.P.M.B mengisi dua trek dalam album debut Hibernate In Harder Pain.
Sepuluh tahun berselang, mereka dipertemukan kembali dalam sebuah event yang menghadirkan panggung bersama. Chemistry yang terjalin membuat mereka melanjutkannya ke studio: merekam ulang, menulis baru, dan memadatkan energi panggung ke dalam rekaman.
Dalam siaran pers yang dikirim ke Redaksi Krjogja.com dijelaskan, selama satu bulan penuh mereka menggarap album ini di Omah Lembah Merapi dan Hellhouse Studio, dengan Hamzah Kusbiyanto di balik mixing dan mastering.
Baca Juga: Prediksi Skor MU Vs Arsenal Big Match Pekan Perdana Panaskan Old Trafford Malam Ini
Hasilnya: 12 lagu, termasuk reinterpretasi ulang “Boyz In Da Hood” dan dua materi baru. Salah satunya adalah single utama “Refuse,” sebuah anthem perlawanan yang relevan dengan realitas represi hari ini—dari produk hukum yang menindas hingga pemenjaraan para pejuang.
Bagi Serigala Malam, kolaborasi ini melahirkan sound yang lebih tajam daripada karya mereka sebelumnya, seolah versi upgrade dari album Bloodlines. Hardcore groove mereka yang dipengaruhi Madball, Hatebreed, dan Lionheart kini diperkaya dengan kick 808 dan scratch, elemen yang biasanya asing di diskografi mereka.
Sementara bagi D.P.M.B, proyek ini memberi dimensi baru pada rap old school boombap mereka. Vokal rap yang biasanya berdiri di depan beat, kini menjadi backbone dari hardcore yang cadas—sebuah imajinasi liar tentang bagaimana hip hop bisa jadi fondasi band metal.
Artwork album dipercayakan kepada Herry Sutresna, yang menerjemahkan intensitas musik ke medium visual lewat teknik art print. Dengan warna kontras, komposisi dinamis, dan detail simbolik, sampul Ghettocore bukan sekadar pelengkap, tapi representasi visual dari energi yang berdenyut di setiap trek.
“Ghettocore” adalah ruang di mana breakdown hardcore dan boombap rap bertemu, berpihak pada penikmat musik keras maupun penggemar hip hop 90-an. Lebih dari sekadar kolaborasi, album ini adalah deklarasi musikal: bahwa Yogyakarta masih punya nafas panjang dalam tradisi eksperimentasi dan perlawanan sonik.
Rilis album ini dirayakan di Milli Sayidan, Kamis (14/8) lalu. (*)