Krjogja.com - Setelah menelurkan lagu-lagu pedas bertajuk Negri Para Keparat, Celeng Dhegleng, dan Sengkuni Asu-Asuan, musisi independen Sri Krisna Encik kembali hadir dengan kritik sosial terbaru bertajuk 'Negri Palsu'.
Lewat lagu ini, Encik tak segan menyuarakan keresahan yang merasuki benak banyak warga: tentang wajah negeri yang terus didera persoalan lama yang tak kunjung selesai.
'Negri Palsu' lahir dari pengamatan tajam Encik atas situasi sosial-politik Indonesia yang, menurutnya, masih berkutat di pusaran kekuasaan dan kesejahteraan semu.
“Kita hidup di negara yang secara konstitusi milik rakyat, tapi dalam praktiknya dikuasai oleh segelintir elite,” ujar Encik dalam wawancara singkat, Sabtu (3/5) di Sangkring Art Project. “Kepalsuan demi kepalsuan dibiarkan tumbuh: hukum jadi alat kekuasaan, korupsi dianggap budaya, dan keadilan hanya slogan di baliho.”
Lagu ini tidak sekadar melempar kritik; ia menjadi cermin pahit tentang bagaimana kesadaran kolektif bangsa seringkali tenggelam dalam permainan politik transaksional.
Dalam liriknya, Encik menggambarkan betapa rakyat telah kehilangan kepercayaan—bukan karena pesimis, melainkan karena terus-menerus dikhianati.
Dengan gaya musik yang tegas dan lirik yang menusuk, 'Negri Palsu' memperkuat posisi Krisna Encik sebagai seniman yang tidak takut berbicara lantang di tengah iklim yang kerap membungkam suara-suara jujur.
Seperti karya-karyanya sebelumnya, lagu ini bukan hanya untuk didengar, tapi untuk direnungkan—dan bila perlu, ditindaklanjuti.
"Selama pemangku kekuasaan belum sadar bahwa kekuasaan bukan milik pribadi, kita akan terus hidup dalam kepalsuan," tutup Encik. (Abp)