“Saya pastikan akan lebih dari 20 ribu. Berarti kan disana first in first out ada yang salah. Managemennya ada yang salah,†ujar Dwi Andreas.
Diakuinya, adalah wajar jika perusahaan yang berdagang komoditas pertanian melakukan disposal. Sebab komoditas pertanian memiliki masa layak dengan jangka waktu tertentu. Barang dengan kualitas yang menurun tak boleh diperjualbelikan. Perlakuan sama juga terjadi pada perdagangan komoditas makanan olahan.
Namun, disposal mestinya tak berjumlah lebih dari 1 persen dari total barang yang dijual perusahaan. Malah akan lebih baik jika disposal tak melebihi 0,5 persen. Jumlah disposal yang besar menandakan sistem manajemen dan penyimpanan stok yang tak efektif serta efisien. Â
Dwi berpendapat kualitas beras yang masuk ke gudang Bulog perlu diperhatikan. Pasalnya, beras rusak yang bakal didisposal ini berasal dari serapan dalam negeri, yang saat ini jumlahnya masih sekitar 1 juta ton. Sedangkan beras eks impor punya kadar air rendah, sehingga lebih tahan lama. Resiko kerusakannya hanya 5 persen.Â
“Pada kepemimpinan Kementan sebelumnya Bulog dipaksa beli gabah juga, kan. Akhirnya dapat gabah dan beras yang kualitasnya enggak begitu bagus. Kalau kualitasnya enggak bagus, jangankan setahun, dua bulan aja sudah rusak,†lanjutnya.Â
Dwi juga menilai, Bulog pun tidak boleh menagih kerugian senilai Rp 160 miliar dari 20.000 ton beras rusak. Sebab itulah risiko yang mestinya diperhitungkan sejak awal.Â
“Dalam tata kelola pangan apapun kalau kita melakukan perdagangan pangan, disposal itu masuk dalam risiko. Dalam mitigasi risiko, disposal harus sudah masuk dalam cost (kerugian.red). Kalau tidak terjadi disposal yang untung perusahaannya itu jadi profit,†katanya. Â
Disposal stok rusak sebenarnya telah dilakukan Bulog pada tahun-tahun sebelumnya. Bedanya, pada masa lampau seburuk apa pun kualitas beras, Bulog tetap menyalurkannya kepada masyarakat. Dari situlah stigma kualitas beras Bulog buruk bermula.Â