MUNGKIN karena usianya paling muda, pengetahuan dan pengalamannya tergolong mutakhir, maka Pèncèng yang duluan beres melaksanakan administrasi 'National Single Identity'. Dari tadi dia tampak 'uthak-uthek' 'wiridan' menghadap layar ponselnya.
"Wah, Pèncèng sibuk buka aurat," Beruk berkomentar.
Gendhon hanya senyum-senyum. 'Nyruput' kopi dan memandang jauh.
Sebenarnya yang tiap saat dipegang di tangan Pèncèng bukanlah gadget mutakhir, meskipun sudah smartphone, sudah lumayan advanced, bisa gaul, browsing, youtubing, instakwintal, Loan-lain, Whatsap-whatsip, share-shere, copas-copis, broadcast-broadcest, video call layar resolusi rendah, bahkan Pèncèng diam-diam kelihatannya mulai belajar online trading.
"Yang lengkap ndaftarnya, Cèng…," Beruk nyeletuk lagi, "jangan sekadar simcard sesuai dengan nomor KTP. Bikin juga lembar ekstra untuk isian database pribadimu, sejarah hidupmu, garis turunanmu, riwayat pekerjaan bapakmu sampai minimal mbah udeg-udegmu, syukur mbah gantung siwur. Pemerintah memerlukan pengetahuan lengkap tentang rakyatnya. Mereka kita gaji untuk membuka aurat National Single Identity kita, sementara pemerintah pakai cadar di depan kita..."
Akhirnya Pèncèng terpengaruh juga. Ia menoleh. "Panjenengan menika sejatasipun badhe dawuh menapa to?
", ia merespons Beruk, " kok enjang-enjang ceriwis sanget panjenenganipun cangkem punika..."
Memang sudah sewajarnya pemerintah mengetahui persis siapa yang diurusinya. Makanya setiap penduduk diminta bikin KTP. Setiap orang harus pegang ID-Card. Kalau rakyat memakai alat teknologi apapun untuk komunikasi sosial, maka harus terkait langsung dengan database pribadinya. Nomor handphonenya harus berdasar nomor KTP-nya. Database setiap orang tercatat di komputer besar pemerintah, sehingga sepak terjangnya selalu bisa dikontrol.