Kalau sebuah nomor ponsel menyebar 'ujaran kebencian' misalnya, pemerintah bisa langsung mengidentifikasi, mengejar dan menangkapnya. Kelak simcard setiap orang diganti susuk logam sangat nano ditanam di jidat setiap orang. Kamu lewat gerbang tol, masuk pintu-pintu detector bandara, ambil duit di ATM, bayar sesuatu di toko, mal, restoran, warung dan angkringan - cukup dengan sedikit menggerakkan kepala ke depan, jidat didekatkan ke alat yang tersedia.
Bahkan setiap pengendara yang lewat di jalanan, langsung ketahuan siapa mereka di layar ponsel polisi. Siapa saja yang sedang buang air besar, air kecil, ngompol, ada di layar komputer Polsek dan Muspika setempat. Pada saatnya teknologi akan mendeteksi isi hati setiap orang yang lewat. Siapa yang punya niat mau ngutil, sudah diketahui sebelumnya. Setiap istri bisa bawa alat yang layarnya menampilkan running text tentang apa yang sedang dipikirkan oleh suaminya, cewek namanya siapa yang sedang ada di benaknya ketika suami itu menggandeng tangan istrinya. Cewek di benak suami itu juga bisa diidentifikasi oleh istri dengan sekali klik di aplikasi.
"Yang dimaksud Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tuhan Yang Maha Kuasa adalah pemerintah," terdengar Beruk meneruskan gerundelannya, "alat-alat canggih mereka miliki dan pakai untuk memegang nyawa dan seluruh hidup kita. Sementara kita tidak tahu apa-apa tentang mereka. Pemerintah seperti pemakai cadar menutupi wajahnya, dia bisa melihat kita, sementara dia sendiri menyembunyikan wajahnya..."
"Sendika, Mas Cangkem," sahut Pèncèng.
"Transparansi itu maksudnya wajah dan identitas kita transparan terang benderang di mata penguasa, sementara wajah mereka gelap di mata kita," Beruk tidak berhenti, "bahkan kalaupun kita bisa membuka aurat pemerintah, hak interpretasi terhadap data yang selama ini diauratkan itu hanya ada pada pemerintah. Apa yang benar atau salah, apa yang patuh atau melanggar, apa yang baik atau buruk, yang mana yang Pancasila mana yang tidak, siapa radikalis siapa moderat, siapa Bhinneka Tunggal Ika siapa tidak - penafsiran tunggalnya ada di genggaman otoritas pemerintah."
"Innalloha ‘ala kulli syai-in qodir. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu. Allah di situ maksudnya pemerintah," ternyata Gendhon akhirnya ikut bicara, "Pemerintah kita sangat sadar Khilafah. Pemerintah adalah duta Tuhan. Mandataris Tuhan alias Khalifatullah. Semua kehendak, keperluan dan fungsi yang terkait dengan iradat dan hak-hak Allah, dipegang oleh tangan pemerintah..."
Pèncèng tidak terlalu sabar juga. "Ki Ageng Cangkem didukung penuh oleh Ki Gede Cocot...," katanya.
Gendhon meneruskan. "Pemerintah terkadang bersikap sebagai Malaikat Jibril, menyebar ayat-ayat terutama yang berkonteks hukum dan undang-undang. Kadang menjadi Mikhail, menuturkan juklak-juknisnya. Saat lain menjadi Isrofil, Menteri Kominfonya Allah, 'innahu huwas Sami’ul ‘Alim'. Sesungguhnya Pemerintah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Isrofil menyebarkan informasi, menghimpun informasi, menambah dan mengurangi informasi sesuai dengan regulasi Khilafah. Yang ajek itu menjadi Malaikat Izrail: ia yang mendesain aturan, maka ia pula yang berhak membatalkannya. Izroil yang mengizinkan Ormas berdiri, Izroil pula yang berhak menetapkan Perppu untuk membubarkannya..."