Pendeknya, belum ada standar tentang honorarium seorang editor. Mengapa ini dapat terjadi? Jawabnya sederhana karena sebagai profesi, editor tidak memiliki standardisasi dan sertifikasi profesi yang dapat dijadikan acuan. Tidak ada yang dapat menetapkan siapa yang layak disebut sebagai editor.
Beberapa penerbit hanya mensyaratkan jenjang pendidikan tertentu untuk jabatan editor, berikut pengalaman dan pengetahuan tentang penerbitan. Namun, editor yang benar-benar menekuni pendidikan editing atau ilmu penerbitan di Indonesia ini sangatlah langka.
Tahun 1995 saat dilaksanakannya Kongres Perbukuan Nasional I, Frans M. Parera tampil menjadi penyaji makalah dalam kapasitasnya sebagai Ketua Ikatan Penyunting Indonesia (Ikapindo). Itulah asosiasi profesi pertama dan satu-satunya bagi editor Indonesia. Sayang, asosiasi tersebut kemudian surut kiprah dan riwayatnya.
Lalu, tahun 2006, saya menggagas terbentuknya Forum Editor Indonesia (FEI) di Bandung dan dihadiri 80 orang editor dari berbagai kota. Namun, napas saya juga pendek untuk melanjutkannya menjadi organisasi profesi yang legal dan diakui meskipun pada Seminar Editor Malaysia yang diselenggarakan Persatuan Editor Malaysia saya diundang sebagai penggagas FEI.
Saya menjadi pemakalah di Seminar Editor Malaysia tahun 2011. (Foto: Dok. Penulis)
Sejatinya “menyelamatkan†dunia literasi Indonesia bukan hanya menyelamatkan penulis (berikut penghasilannya), melainkan juga menyelamatkan para editor, ilustrator, dan desainer buku sebagai artisan-artisan di balik sukses sebuah buku. Hal ini karena penerbitan buku adalah kerja sebuah tim dan tim itu semestinya mendapatkan perhatian negara untuk dikembangkan dan dibina sehingga buku-buku di Indonesia menjadi bergairah ditingkahi mutu yang optimal.
Di balik pengarang/penulis yang hebat ada editor yang kuat, itu benar adanya, kecuali si pengarang/penulis begitu pe-de mengedit tulisannya sendiri. Editor yang kuat masihlah langka di negeri ini karena mungkin tidak ada orang yang tertarik menjadi sebenar-benar editor. Kerja editor sering dikecilkan hanya berkutat soal bahasa (ejaan dan tata bahasa), padahal ia semestinya lebih super dari itu.