MENGAPA Anda dapat membaca sebuah tulisan dengan aman dan nyaman? Itu terjadi bukan hanya karena kepiawaian penulisnya merangkai kata-kata, melainkan juga karena adanya aktivitas memeriksa tulisan yang disebut editing. Dalam bahasa Indonesia, kata ‘edit’ yang merupakan kata kerja dipadankan dengan kata ‘sunting’. Prosesnya disebut ‘editing’ atau ‘penyuntingan’.
Tampaknya ada alasan tersendiri para munsyi (ahli bahasa) memilih kata ‘sunting’ sebagai padanan ‘edit’. Di dalam KBBI V disebutkan makna lain ‘sunting’ adalah hiasan (bunga dan sebagainya) yang dicocokkan di rambut atau di belakang telinga. Jadi, dapat dikatakan bahwa menyunting atau mengedit sama halnya menata kata-kata agar pas untuk dibaca sehingga sebuah tulisan tampak apik dan memesona sekaligus berguna.
Jika Anda menulis tanpa diedit, terimalah berbagai kesalahan yang menganggu, salah satunya salah tik (typographical error) atau saya menyebutnya dengan istilah galat tipografi. Salah tik atau galat tipografi ini menjadi fatal manakala kata yang kita tik terbalik sehingga berubah arti. Maksud hati hendak menulis ‘ketika’, tetapi yang tertulis ‘ketiak’; ‘persebaran’ menjadi ‘perbesaran’; ‘sutan’ menjadi ‘sunat’, dan seterusnya. Bukan hanya menganggu, melainkan dapat menaikkan emosi orang yang membacanya. Misalnya, Anda menulis surat kepada tokoh Minang bergelar sutan. Lalu, Anda menulis begini: Yth. Bapak Nasril Koto (Sunat Sari Alam). Dijamin Pak Nasril tidak enak hati menerima surat Anda sehingga tidak meresponsnya.
Karena itu, wajar jika kasus lolos edit pada buku acara Sea Games di Malaysia sehingga bendera merah putih terbalik ditampilkan mengakibatkan sebagian besar masyarakat Indonesia naik darah. Banyak yang menuding Malaysia melakukan ini dengan sengaja dan meminta untuk diinvestigasi. Faktor kesengajaan boleh jadi dilakukan oleh personel yang terlibat dalam pembuatan buku tersebut. Personelnya boleh jadi seorang penulis, seorang pengatak halaman (layouter), ataupun desainer. Namun, jika dilakukan editing dengan saksama, kejadian seperti itu tidak mungkin lolos dan menimbulkan masalah.
Editor sebagai “Palang Pintuâ€
Tahun 1991 adalah awal saya mengenyam pendidikan di Prodi D-3 Editing Unpad. Entah mengapa prodi yang salah satunya didirikan oleh Begawan Bahasa, Prof. Jus Badudu, ini menggunakan kata ‘editing’ sebagai nama prodi, padahal kata ini tidak diserap ke dalam bahasa Indonesia. Kata yang diserap adalah ‘edit’ dan prosesnya disebut (semestinya) ‘pengeditan’ bukan editing. Namun, kata ini sudah telanjur berterima sehingga saya juga menggunakannya—mungkin sama kasusnya dengan marketing.
Saya memulai karier sebagai editor naskah buku di Penerbit Remaja Rosdakarya (Bandung) dan di sanalah untuk kali pertama saya menyadari betapa peran editor tidak dapat disepelekan sebagai “palang pintu†sebuah penerbitan. Istilah “palang pintu†saya kira lebih halus dibandingkan menyebut “watch dog†walaupun kadang saran dan kritik seorang editor mirip dengan gonggongan anjing bagi beberapa penulis.
Sebenarnya keterampilan editing bukanlah ranah editor saja untuk dikuasai, melainkan seorang penulis juga harus menguasai editing dengan baik yang disebut ‘swasunting’ . Itu sebabnya nomenklatur pendidikan vokasional di bidang penulisan di luar negeri bernama Professional Writing And Editing. Ya, jodohnya menulis itu adalah menyunting ibarat dua sejoli yang tidak dapat dipisahkan. Tidak ada tulisan yang baik tanpa editing dan sebaliknya, tidak ada editing tanpa tulisan—ya mau ngedit apa kalau tidak ada naskahnya?