Pertanyaan lebih penting, terutama untuk Indonesia adalah bagaimana tentang kompetensi para penulis dan editor Indonesia sendiri? Adakah sertifikasi untuk profesi ini? Sampai kini meskipun dunia penerbitan di Indonesia telah ada sejak masa sebelum kolonial Belanda, di Indonesia belum ada yang namanya sertifikasi untuk penulis, apalagi editor. Terus, apakah memang perlu?
Tragedi buku panduan Sea Games hanya satu cerita, di luar itu banyak kasus yang menunjukkan lemahnya editing sehingga banyak publikasi mengandung berbagai kesalahan. Saya kira kasus baliho besar dari sebuah merek keramik terkenal baru-baru ini yang menuai kontroversi karena menggambarkan perempuan seksi berbalut bendera merah putih sama dengan kasus lolosnya editing di tingkat copywriting. Karena itu, untuk pekerjaan-pekerjaan besar, para editor yang bersertifikasi sangat diperlukan.
Dunia kita benar-benar dapat terbalik tanpa editing. Di media sosial seperti Facebook, kita dapat melihat setiap hari orang-orang menulis status dengan kata-kata yang hurufnya terbalik-balik karena salah tik. Bahkan, ada juga aplikasi untuk membuat tulisan benar-benar menjadi terbalik dan kita harus membalikkan gawai untuk membacanya. Jelaslah terbalik ini bukan tren yang harus diikuti jika itu merupakan buah dari keteledoran kita untuk menata kata yang dapat mencerminkan tertatanya pikiran dan perasaan kita.
Bukan hanya seeing is believing, melainkan juga editing is believing. Percaya atau tidak?