Editor di penerbit menjadi palang pintu bagi penerbit terhadap penulis berikut ini: 1) penulis yang teledor menulis naskah sehingga mengandung banyak kesalahan, termasuk kesalahan data dan fakta, bahkan soal legalitas dan kepatutan; dan 2) penulis yang sengaja menyisipkan muatan (konten) berbahaya pada naskah. Jadi, dua faktor yang dijaga oleh seorang editor adalah faktor KESENGAJAAN dan faktor TIDAK SENGAJA dari para penulis.Â
Faktor tidak sengaja dari sisi penulis dapat dikelompokkan menjadi berikut ini: 1) ketidaktahuan penulis; 2) keteledoran penulis; 3) ketidakkompetenan penulis; 4) ketiadaan komunikasi yang baik antara penulis dan editor. Hal yang harus diwaspadai juga adalah faktor kesengajaan karena motif berikut ini: 1) keisengan dengan maksud bercanda; 2) sabotase dengan maksud merugikan pihak lain; 3) merusak pemikiran pembaca dengan latar belakang maksud tertentu, seperti bisnis, politis, dan ideologis atau bagian dari agenda perang asimetris (soal perang asimetris ini silakan diramban di internet).
Jika itu terjadi pada penulis dan naskahnya, editor wajib melakukan tindakan berupa anjuran untuk mengubah naskah atau jika masalahnya pelik dan berisiko, editor dapat menolak naskah. Masalahnya bagaimana jika malah editornya yang tidak tahu, tidak berkompeten, dan sengaja melakukan sabotase tersebut? Inilah salah satu fenomena dunia terbalik. Editor yang melakukan pembiaran terhadap naskah yang mengandung kesalahan, bahkan mengandung motif-motif berbahaya ibarat pagar makan tanaman atau kura-kura dalam perahu. Hal ini yang dapat disebut sabotase.
Sertifikasi Profesi yang Mendesak
Kasus pemuatan bendera Indonesia yang terbalik di acara Sea Games Malaysia menjadi cerminan dengan pantulan banyak sisi. Kasus itu boleh disebut “disengaja†atau tidak “disengaja†yang hanya dapat ditelusuri melalui investigasi terhadap proses penerbitan yaitu dari naskah hingga menjadi dumi atau fail siap cetak. Siapa saja di situ yang bertanggung jawab?
Namun, satu hal yang pasti bahwa proses edit atau editing tidak terjadi sebagaimana mestinya pada buku tersebut, seperti melakukan editing sekenanya karena menganggap semuanya sudah terkendali. Hal seperti ini semestinya tidak boleh terjadi pada “sukan†sekelas Sea Games, berbeda halnya dengan perlombaan menjelang 17 Agustus tingkat RT/RW yang biasanya spanduk atau surat dari RT/RW diliputi kesalahan, termasuk kata-kata dengan huruf terbalik.
Tragedi buku panduan acara Sea Games juga menjadi peringatan bagi kita Indonesia yang tahun depan menjadi tuan rumah Asian Games. Jangan sampai keteledoran editing juga terjadi untuk gambar bendera, bahkan nama negara, termasuk data dan fakta yang tersedia. Para editor andal harus diterjunkan untuk memeriksanya. Editor yang memiliki ilmu kanuragan mendeteksi segala ancaman, termasuk pikiran-pikiran terbalik.