MENJELANG perayaan Hari Kemerdekaan, saya coba membahas tentang apa yang menyebabkan seseorang terbelenggu alias tidak merdeka untuk menuliskan sesuatu karena faktor dari dalam dirinya. Faktanya memang banyak orang yang dulunya mampu menulis dengan baik, tetapi kemudian kini tidak mampu lagi atau tiba-tiba ia mengalami writer’s block ‘kebuntuan penulis’.
Sebelumnya, saya ingin bertanya: Apakah ada yang menyanggah bahwa menulis berhubungan dengan pikiran dan perasaan?
Kalau tidak ada yang menyanggah, berarti saya boleh sebut bahwa seorang penulis yang tidak mampu menulis, baik terjadi secara tiba-tiba ataupun berangsur-angsur, itu karena terbelenggunya pikiran atau perasaannya. Lalu, sebenarnya yang terbelenggu itu pikiran atau perasaan? Pertanyaan ini mungkin harus dipikir-pikir dan dirasa-rasa dulu untuk menjawabnya.
Salah seorang guru saya, Pak Syaiful Bahchri (berjuluk master coach), mengungkapkan bahwa perasaanlah yang sejatinya terbelenggu, sedangkan pikiran itu tetap bebas merdeka. Orang yang terganggu atau terbelenggu perasaannya, ia masih tetap dapat berpikir dengan bebas.
Lalu, apakah kondisi perasaan juga berpengaruh terhadap aktivitas menulis? Tentu saja berpengaruh. Analoginya meskipun pikiran seseorang bebas jika perasaannya terbelenggu, ia tetap tidak akan mampu menulis. Jadi, penulis yang perasaannya terbelenggu untuk menulis maka ia disebut mengalami writer’s block. Beberapa orang menyebutnya kehilangan mood yang berhubungan dengan perasaan atau suasana hati—sekali lagi bukan pikiran.
Fakta menarik terjadi pada tokoh-tokoh besar dalam sejarah yang pernah dipenjara, tetapi menghasilkan tulisan brilian. Mereka terpenjara secara fisik, tetapi sejatinya perasaan mereka bebas merdeka sehingga mampu memikirkan hal-hal besar.
Jadi, tidak usah heran mengapa orang-orang hebat yang dipenjara itu tetap mampu menulis. Mereka berhasil membebaskan perasaannya dari belenggu mimpi buruk di penjara, lalu pikirannya pun segera bekerja dengan optimal. Alhasil, lahirlah sebuah naskah atau buku yang berpengaruh dari balik bilik penjara.
Lihat saja bagaimana Bung Karno menuliskan pledoinya yang terkenal bertajuk “Indonesia Menggugat†dari balik penjara. Begitu pula Bung Hatta yang dipenjara pada tahun 1927, beliau menulis pleidoinya berjudul “Indonesie Vrij†atau “Indonesia Merdeka†yang memukau. Martin Luther King Jr. menulis esai terkenalnya tahun 1963 dari balik jeruji penjara berjudul “Letters from Birmingham Jailâ€. Nelson Mandela menulis autobiografinya berjudul Conversation with Myself  yang merupakan kumpulan jurnal (catatan harian) dan surat-suratnya ketika ia mendekam dipenjara selama 27 tahun. Di dalam penjara pula, Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Hamka mampu menyelesaikan adikaryanya yaitu Tafsir Al-Azhar.