Gendhon juga mendengung-dengung pikirannya di antara tidur dan jaga. "Simbah ini bikin perkara. Kita dilibatkan dalam kegelisahan-kegelisahan. Segala sesuatu dipikirkan, didiskusikan, diperdebatkan. Hasilnya juga tidak pernah mencapai kesepakatan tentang kebenaran. Selalu masing-masing punya pandangannya sendiri tentang kebenaran apa saja. Tema apa saja produknya adalah perbedaan. Untung kami saling menyayangi satu sama lain, sehingga tak pernah terjadi perselisihan dan permusuhan..."
Tatkala matahari berada di puncak dan pelan-pelan bergeser ke Barat, mereka berdua, juga saya, dikagetkan oleh suara keras Pèncèng: "Imsaaaaaaak... Imsaaaaak... Imsaaaaak..."
Meskipun lagunya kacau, tapi sepertinya ia menirukan bunyi-bunyian menjelang Subuh di pengeras suara masjid. Pèncèng mengulang-ulang teriakan itu dengan suara keras. Kali ini tampaknya mustahil tidak bergesekan dengan tetangga sekitar.
Dan benar saja. Beberapa orang datang ke depan rumah Simbah. Gendhon dan Beruk melompat dari tempat tidur dan langsung berlari ke depan. Ketika itu saya sedang baca-baca di kamar.
"Nyuwun sewu
, ada apa kok
Nak Pèncèng Imsak Imsak..." terdengar suara salah seorang.
Belum sempat ada jawaban dari Beruk atau Gendhon, terdengar suara tetangga yang lain: "Gimana sih
maksudnya kok
siang-siang Imsak Imsak?"
Gendhon terbata-bata mencoba menjawab: "Maaf  bapak-bapak dan sedulur-sedulur semua, Pèncèng sedang demam serius, suhu badannya naik sejak tadi pagi, jadi tidak sadar dia teriak-teriak..."
Belum selesai kalimat Gendhon, ada yang memotong: "Ini aliran Islam apa lagi ini!"