Agus mewanti-wanti penguasaan perusahaan multinasional, yang sudah mengambil alih sejumlah pabrik rokok lokal, untuk mempengaruhi kebijakan. Kementerian keuangan diminta harus memberi dukungan nyata bagi produk rokok kretek dalam negeri.
Pemerintah, seharusnya juga tak sungkan menerapkan kebijakan seperti Amerika yang melindungi rokok putihnya. Meski WTO menetapkan bahwa pelarangan rokok kretek ke Amerika menyelahi aturan, namun Amerika tidak mematuhi, dengan dalih kepentingan industri dalam negeri.
"Amerika menerapkan aturan larangan rokok aromatic, kemudian Indonesia menggugat lewat WTO dan menang. Namun Amerika, tidak mematuhi, dengan dalih melindungi industri. Terapkan saja ha serupa. Jangan dibuat mengambang kalau memang pemerintah memandang kontribusi tembakau memberi pemasukan besar ke negara," tandas Agus.
Secara terpisah, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Ismanu Soemiran, berpendapat besaran cukai berdasarkan ketetapan dari APBN.
Idealnya, rokok naik linier dengan inflasi, pertumbuhan dan faktor lain. Menurut Ismanu, setiap kenaikan di luar pertimbangan tersebut membuat beban industri nasional hasil tembakau (IHT) menjadi naik, hal ini berdampak kontra produksi.
“Faktor lain itu yang sulit diprediksikan. Sebab, ini bersifat kebijakan atas dasar kebutuhan keuangan Negara,†jelas dia.
Perihal penurunan penerimaan cukai di kuartal I, dikatakan Ismanu, lebih diakibatkan kondisi perlambatan secara umum di hampir semua sektor usaha.