"Ah, ngambra-ambra Mbah…" Pèncèng menyela.
"Lho sejati fakta dan masalahnya memang demikian," saya menjawab, "makanya hati-hati kalau omong dan bersikap. Kalau kalian anak kecil, nggak apa-apa gembelengan. Tapi kalian berposisi memimpin, berarti sudah nyunggi wakul, jangan sekali-sekali gembelengan. Jaga mulut, jangan sakiti siapa-siapa, justru setiap tindakan dan ucapanmu harus mengayomi, membesarkan hati rakyat, memberi ruang, memperluas ketenteraman dan keseimbangan hubungan. Kalau nggak, nanti wakul amanah kepemimpinan kalian akan ngglimpang, dan segane tumpah dadi sak-latar."
"Tapi dari yang kami katakan tadi tidak ada materi pidana yang bisa dijadikan bukti penistaan, Mbah,"Â Beruk coba membantah.
"Andaikan kami dituduh menistakan Simbah, kami akan dihukum atau tidak, itu tergantung perdebatan intelektual para ahli atau antara jaksa dengan pembela, karena pasalnya sendiri sangat debatable, bisa diisi oleh seribu macam tafsir."
"Dihukum atau tidak," jawab saya, "tapi wakul sudah ngglimpang, meskipun bisa diambil dan disunggi lagi…"
"Juga, anak-anak," saya meneruskan penjelasan, "hukum itu hanya bagian kecil dari manusia dan kehidupan yang luar biasa luas dan ragam dimensinya. Yang bisa dirangkum atau diikat oleh hukum adalah warganegara, tetapi manusia sebagai manusia jauh lebih luas dan multidimensional dari itu.
Ketahuilah bahwa saya menuntut kalian atau tidak, bukan terutama berdasarkan kata-kata kalian tadi, melainkan Simbah ukur berdasarkan situasi-situasi panjang hubungan antara kalian dengan Simbah, yang di dalamnya ada nuansa, dimensi-dimensi, nada, hawa, aura, energi positif atau negatif. Dan sudah pasti Simbah tidak akan menuntut kalian karena hawa kalian kepada Simbah adalah cinta dan kasih sayang.
Andaikan proses hubungan kita berisi kebencian dan nafsu untuk menguasai, mencurangi, atau apalagi ada remang-remang tipudaya – Simbah akan lakukan sesuatu yang lain, dan belum tentu Simbah andalkan tangan hukum negara…".(*)