KRjogja.com - Washington DC – Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf melakukan serangkaian pertemuan penting selama kunjungannya ke Amerika Serikat. Lawatan ini dimulai sejak Minggu (15/9/2024) hingga Kamis (19/9/2024). Dalam kesempatan tersebut, Gus Yahya memperkenalkan gagasan besar NU terkait peradaban global, khususnya dalam konteks dinamika geopolitik dunia Islam dan kawasan Indo-Pasifik.
Kunjungan ini mengundang perhatian berbagai pihak di AS, termasuk lembaga think tank ternama seperti The Heritage Foundation dan The Atlantic Council, yang menjadi tujuan diskusi Gus Yahya pada hari kedua kunjungannya, Senin (16/9/2024). Di The Heritage Foundation, Gus Yahya bertemu dengan para pakar kebijakan Amerika Serikat, termasuk pendiri lembaga tersebut, Dr. Edwin Fuelner, dan Jeff Smith, Direktur Pusat Studi Asia. Diskusi ini menekankan pentingnya peran Indonesia dan NU dalam mengatasi isu-isu geopolitik di dunia Islam.
Dalam diskusi tersebut, Gus Yahya menyampaikan potensi NU untuk berperan aktif dalam mewujudkan perdamaian global melalui pendekatan berbasis nilai-nilai Islam moderat. Jeff Smith bahkan menegaskan komitmennya untuk mendukung kerja sama dengan Indonesia, khususnya NU, dalam berbagai bentuk di masa depan.
Usai diskusi, Gus Yahya diundang makan siang oleh Peter Berkowitz, mantan Kepala Divisi Perencanaan Kebijakan Kementerian Luar Negeri AS, yang telah lama memiliki hubungan dengan NU. Berkowitz memuji inisiatif NU, terutama melalui forum R20 yang sukses digelar di Bali pada November 2022. Berkowitz berperan dalam memperkenalkan Gus Yahya kepada jaringan strategis di Amerika, memperkuat posisi NU dalam diplomasi internasional.
Baca Juga: Hoaks MLB NU: Wacana Abal-Abal yang Tidak Dibenarkan PBNU
Pada hari yang sama, Gus Yahya melanjutkan diskusinya di The Atlantic Council, lembaga think tank terkemuka lainnya. Di sini, ia bertemu dengan sejumlah tokoh penting, termasuk Fred Kempe, Presiden The Atlantic Council, dan Dr. Mathew Kroenig, Wakil Presiden Scowcroft Center for Strategy and Security. Di hadapan para pakar tersebut, Gus Yahya menyampaikan urgensi untuk mengintegrasikan dunia Islam ke dalam tatanan global yang lebih adil dan harmonis.
Dalam pandangannya, tatanan dunia yang adil harus didasarkan pada penghormatan terhadap kesetaraan hak dan martabat setiap individu. The Atlantic Council menyambut baik gagasan tersebut dan menyatakan komitmennya untuk mendukung inisiatif-inisiatif NU di arena internasional.
Tidak hanya berhenti pada think tank, Gus Yahya juga melakukan pertemuan dengan tokoh-tokoh lintas sektor. Pada malam harinya, Johnie Moore, tokoh Evangelis terkemuka di AS, mengatur jamuan makan malam dengan sejumlah pemimpin dari berbagai bidang, mulai dari politik, media, hingga filantropi. Di antara tamu penting yang hadir adalah Michael Abramowitz, Direktur Voice of America, dan John W. McArthur dari The Brookings Institution.
Baca Juga: Tasyakuran Satu Abad Media NU: Menghormati Warisan dan Membangun Masa Depan
Dalam kesempatan ini, Gus Yahya memaparkan gagasan tentang fiqih peradaban yang menekankan pentingnya penguatan prinsip-prinsip dasar dalam Piagam PBB. Menurutnya, upaya ini sangat diperlukan untuk mencegah eskalasi konflik internasional yang dapat memicu perang besar di masa depan.
Agenda Gus Yahya di AS berlanjut pada hari berikutnya, Selasa (17/9/2024), di mana ia menjadi salah satu pembicara utama dalam seminar bertajuk “A Multi-Religious Path Towards Middle East Peace” di The Washington Institute for Near East Policy. Seminar yang dipandu oleh Robert Satloff ini menjadi forum strategis bagi Gus Yahya untuk mempromosikan gagasan perdamaian di Timur Tengah melalui pendekatan lintas agama.
Selain itu, Gus Yahya juga dijadwalkan melakukan pertemuan diplomatik dengan Uzra Zeya, Wakil Menteri Luar Negeri AS Bidang Keamanan Sipil, Demokrasi, dan Hak Asasi Manusia, sebelum bertolak ke New York untuk menghadiri rangkaian acara berikutnya pada Rabu (18/9/2024).
Melalui kunjungan diplomatik ini, Gus Yahya memperkuat posisi NU sebagai organisasi yang memiliki peran strategis dalam tatanan geopolitik internasional. NU, dengan gagasan fiqih peradabannya, diharapkan dapat menjadi jembatan dialog antarperadaban dan berkontribusi dalam menciptakan perdamaian dunia