Ema Suranta Dari Panggung Penghargaan ke Akar Perubahan

Photo Author
- Selasa, 3 Juni 2025 | 11:50 WIB
Ema Suranta  (istimewa)
Ema Suranta (istimewa)

Krjogja.com - Kamis, 8 Mei 2025, seperti menjadi momen yang tak bakal terlupakan bagi seorang Ema Suranta. Hari itu dia berdiri di panggung megah dalam acara Mata Lokal Fest 2025 di Hotel Shangri-La, Jakarta. Perempuan Desa Kertamulya, Padalarang, ini menerima penghargaan Local Ace in Organic Waste Transformation. Nama dan kiprahnya pun bersanding dengan tokoh dan brand besar nasional.

Tapi, siapa sangka, kalau perjalanan Ema Suranta itu bermula dari tumpukan sampah dan semangat komunitas emak-emak? Dan penghargaan itu bukan datang karena keberuntungan semata. Di baliknya, ada perjuangan panjang, tragedi yang membekas, dan terobosan dari masyarakat bawah.

Hari ini, bank sampah Bukit Berlian yang dia dirikan pada 14 Februari 2019 telah memiliki 120 keluarga sebagai anggota. Komunitas itu terdiri dari emak-emak yang tinggal di wilayah Rukun Warga (RW) tempat Ema tinggal. Dari sinilah, awal mula sampah di lingkungan mereka dipilah-pilah.

Baca Juga: Astra Motor Yogyakarta Kembali Adakan Kembali Kompetisi Karya Jurnalistik

Menurut Ema, sekarang bank sampah Bukit Berlian bisa mengolah 15 ton sampah organik setiap bulan. Dari situ, mereka menghasilkan 2 ton maggot atau Black Soldier Fly (BSF) yang setiap 24 hari bisa mereka panen. Larva itu kemudian digunakan untuk pakan ikan, unggas, bahkan dijadikan tepung dan pelet untuk ikan hias.

Semula, sebagian besar maggot hasil produksi bank sampah Bukit Berlian diserap oleh para peternak ayam petelur. Sekarang off taker itu tidak ada lagi. Namun, Ema dan komunitasnya kini sudah memiliki pembudidayaan ikan lele.

“Jadi sekarang kami serap sendiri produk maggot untuk ternak lele kami,” ujarnya ketika dihubungi wartawan melalui telepon.

Baca Juga: Digunakan Untuk Balap Liar dan Tawuran, Polisi Amankan Puluhan Sepeda Motor

Menurut Ema , Kepala Desa memiliki peran penting dalam mengembangkan bank sampah dan kegiatan lanjutannya dengan membangun sinergi antara warga, pengelola bank sampah, dan aparat pemerintahan desa.

Sebagai contoh, awalnya komunitas bentukan Ema mendapat sumbangan 5.000 ekor ikan lele oleh Pak Kades. Ketika panen, komunitas itu mengundang Pak Kades dan warga sekitar. Bahkan, pulangnya warga mendapat oleh-oleh ikan lele hasil panen.

Mereka bahkan diberi 5.000 benih ikan lele oleh kepala desa. Saat panen, hasilnya dibagikan ke warga. Inisiatif ini bukan cuma soal bisnis atau pengelolaan sampah, tapi tentang membangun komunitas dan ketahanan pangan lokal.

Lantas bagaimana sih awal mula Ema tergerak membangun bank sampah Bukit Berlian?

Ketertarikan Ema mengurus ‘barang kotor’ itu justru bermula dari dari tragedi memilukan pada tahun 2005. Saat itu, Tempat Pengolahan Akhir (TPA) Leuwigajah meledak akibat penumpukan gas metana dan curah hujan tinggi.

Sampah setinggi 60 meter longsor, menimbun ratusan rumah, dan merenggut 157 nyawa. Lokasi kejadian hanya sekitar 20 km dari rumah Ema.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Tomi Sujatmiko

Tags

Rekomendasi

Terkini

Lagi, Kilang Pertamina Luncurkan Produk Setara Euro 5

Minggu, 21 Desember 2025 | 15:00 WIB

GKR Hemas Dukung Ulama Perempuan di Halaqoh KUPI

Rabu, 17 Desember 2025 | 22:20 WIB

1.394 KK Ikut Penempatan Transmigrasi Nasional 2025

Rabu, 17 Desember 2025 | 10:30 WIB

Airlangga Hartarto Usulkan 29, 30, 31 Desember WFA

Rabu, 17 Desember 2025 | 05:56 WIB
X