Krjogja.com - Kira-kira apa sih yang terlintas di pikiran kalian setelah lelah bekerja?. Istirahat seharian? main bareng temen? atau justru belanja sampai habis puluhan juta?. Sebagai manusia kita pasti sering merasa lelah hingga menimbulkan keinginan untuk membayar usaha yang dikeluarkan. Para Gen Z menyebut ini dengan istilah self reward. Mungkin karena yang melakukan self reward kebanyakan Gen Z, makanya Gen Z sering dikira menye-menye.
Tapi terlepas dari tuduhan menye-menye tersebut, self reward sebenarnya cukup penting kok. "Emang apa pentingnya ngabisin uang?" ucap orang dengan sifat iri dengki. Sebenarnya, self reward tidak melulu soal uang, seperti yang saya bilang di awal, tidur seperti beruang hibernasi juga termasuk self reward. Apa pentingnya? self reward justru bisa menjadi wujud cinta akan diri sendiri, daripada menunggu mereka yang tak pasti.
Yang patut dipertanyakan justru mereka yang tidak pernah self reward dalam hidupnya. Apakah mereka kurang mencintai diri sendiri? atau ada alasan lain dibaliknya?. Bagaimana jika ketakutan akan self reward justru muncul sebagai respon dari trauma di masa lalu?. Alih-alih melakukan self reward secara impulsif, respon trauma justru berbentuk penghindaran bahkan rasa takut terhadap apresiasi untuk diri sendiri.
Perasaan Tidak Layak
Seperti kata pepatah, semut di seberang lautan tampak gajah di pelupuk mata tak tampak. Seringkali kita bisa melihat kelebihan yang dimiliki orang lain hingga lupa kelebihan sendiri. "Ah nggak ah, kayaknya dia lebih bagus deh dari aku, aku mah apa atuh" sepertinya begitu suara hati manusia dengan karakter ini.
Baca Juga: Tahu dan Tempe Sumber Protein Murah Penopang Gizi Anak Indonesia
Anggapan tidak layak di dalam diri cenderung muncul karena kurangnya rasa puas setelah mencapai sesuatu. Ketidakpuasan tersebut yang menimbulkan perasaan bersalah serta rasa tidak pantas pada diri sendiri untuk melakukan self reward. Pada akhirnya self reward menjadi momok menakutkan bahkan dihindari.
Trauma di Masa Lalu
Perasaan tidak layak ini muncul bukan tanpa alasan, trauma di masa lalu bisa menjadi pemicunya. Misalnya, saat kecil kita berusaha keras mencapai prestasi supaya diperhatikan oleh kedua orang tua. Namun, kenyataan justru berbanding terbalik dengan harapan serta cita-cita kita. Seberapa keras usaha yang telah kita keluarkan, kata "bangga" tetap tidak terdengar bahkan sekedar hembusan nafas pun tidak.
Hal ini menciptakan sikap minder, perasaan tidak pernah cukup, hingga perasaan tidak layak untuk dihargai bahkan oleh diri sendiri. Tekanan dan tuntutan dari orang terdekat sejak dini menciptakan pencapaian, pekerjaan, dan usaha sebagai aspek utama untuk kelangsungan hidup di usia dewasa.
Baca Juga: Puncak Penerbangan Nataru, Cuaca Ekstrem Jadi Tantangan Airnav
Tak jarang, aspek penunjang kehidupan lain yang tak kalah penting seperti makan, kesenangan, dan istirahat turut dilupakan. Sehingga menjadikan individu sebagai sosok yang terikat serta menghabiskan seluruh sisa hidupnya pada pekerjaan.
Workaholic dan Self Reward
Jangankan untuk self reward, makan dan tidur aja mereka sering lupa. Workaholic ini sepertinya sudah lupa jati diri mereka sebagai manusia. Kantung mata dan wajah depresi yang lebih parah dari vampir bahkan sudah menjadi bagian dari tubuh mereka.