KRjogja.com – YOGYA – Banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Pulau Sumatera pada akhir November 2025, menurut pakar dari UGM, bukan semata akibat hujan ekstrem. Faktor alam, perubahan ekologis, serta karakter geologi wilayah disebut telah membentuk kondisi sangat rentan sehingga saat hujan deras, gelombang air dan material dapat meluncur deras dari hulu ke hilir.
Dalam diskusi 'Pojok Bulaksumur' yang digelar di kampus UGM, Kamis (4/12/2025), Hatma Suryatmojo, selaku dosen dan peneliti Fakultas Kehutanan UGM, memaparkan bahwa kombinasi bentang alam, kondisi hutan di hulu, dan kerusakan ekologis memainkan peran krusial.
Menurutnya, struktur geomorfologi wilayah di Sumatera seperti lereng-lereng curam Bukit Barisan mempercepat aliran air dan material ketika hujan turun. “Dengan pola seperti itu, hujan deras pasti membawa material dalam jumlah besar dan kecepatan tinggi,” ujar Hatma, mengutip dari laman resmi UGM, Sabtu (6/12/2025).
Baca Juga: Muhammad Affan Pimpin Golkar Kota Yogyakarta, Dorong Soliditas dan Kehadiran Nyata untuk Masyarakat
Hatma menambahkan bahwa hilangnya tutupan hutan di area hulu memperparah limpasan air. Hutan yang seharusnya menyerap dan menahan air kini banyak digunduli sehingga tanah kehilangan kemampuan resapan, dan air hujan serta sedimen langsung mengalir ke sungai dan area pemukiman. “Neraca airnya pasti berubah dan debit puncaknya meningkat drastis,” katanya.
Tak hanya soal geografis dan ekologis, pakar UGM juga mengingatkan bahwa perubahan iklim global memperbesar kemungkinan curah hujan ekstrem dan kejadian banjir bandang. Kombinasi semua faktor alam, manusia, dan iklim , menurut mereka, menjelaskan luapan dahsyat yang melanda Sumatera.
Baca Juga: Payment for Ecosystem Services
“Ini anomali yang mengindikasikan perubahan iklim semakin mempengaruhi dinamika siklon di kawasan Indonesia,” ujar Dwikorita, narasumber yang lain.
Pernyataan pakar UGM tersebut menegaskan bahwa banjir bandang di Sumatera merupakan hasil dari akumulasi berbagai faktor yang berlangsung dalam jangka panjang. Tanpa perbaikan tata kelola lingkungan dan kawasan hulu sungai, risiko bencana serupa diperkirakan akan terus mengancam wilayah-wilayah rawan di Pulau Sumatera.(*)