KRjogja.com - RENTETAN BANJIR beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa ruang hidup kita tidak ditata mengikuti bentuk alamnya. Kita terjebak pada batas administrasi, padahal air hanya mengenal hulu, tengah, dan hilir. Selama tata ruang mengabaikan logika ekosistem DAS, bencana hidrometeorologi akan terus berulang.
Solusi banjir sering dipersempit pada pembangunan fisik, padahal persoalan utamanya lebih mendasar: tidak ada insentif ekonomi bagi masyarakat hulu untuk menjaga hutan, sementara wilayah hilir menikmati manfaat ekologis tanpa pernah membayarnya. Ketimpangan inilah yang membuat lanskap semakin tidak seimbang dan banjir terus terjadi.
Di sinilah konsep payment for ecosystem services (PES) seharusnya hadir. Prinsip dasarnya sederhana dan sebenarnya sangat masuk akal. Masyarakat hulu menjaga hutan, memastikan tata ruang hulu berada dalam koridor konservasi, dan melaksanakan praktik konservasi tanah dan air. Sebagai gantinya, masyarakat tengah dan hilir memberikan kompensasi atas jasa lingkungan yang mereka nikmati setiap hari.
Baca Juga: Direksi KR Silatuhrami dengan Bupati Kulonprogo
Sayangnya, hingga hari ini konsep PES lebih sering berhenti di seminar dan dokumen kebijakan. Mengapa? Ada dua masalah besar yang membuatnya macet sejak awal.
Pertama, jasa lingkungan yang dihasilkan hulu DAS tidak pernah benar-benar didefinisikan dan dinilai secara ekonomi. Kita tidak memiliki angka baik itu nilai ketersediaan air, fungsi filtrasi hutan, manfaat pengendalian banjir, maupun stabilitas aliran sungai. Bagaimana mungkin skema kompensasi berjalan jika objek yang dikompensasi saja tidak pernah dihitung? Ini seperti mencoba menjual barang yang tidak memiliki label harga.
Kedua, tata kelola hulu–tengah–hilir tidak pernah terhubung dalam satu sistem yang koheren. DAS besar yang melintasi kabupaten bahkan provinsi dikelola oleh banyak kepentingan. Masing-masing daerah mengejar PAD, sering kali dengan cara paling cepat: ekspansi perkebunan, alih fungsi hutan, atau pemberian izin usaha yang menggerus ruang lindung. Tidak ada lembaga independen yang menghubungkan tiga wilayah dalam satu kesatuan ekosistem.
Baca Juga: Polemik PBNU, Silaturahmi Mustasyar Tidak Dapat Batalkan Agenda Pleno
Akibatnya, PES sulit berjalan karena tidak ada pengelola yang kredibel, netral, dan dipercaya semua pihak. Jika dua masalah ini tidak diselesaikan, maka kita hanya akan mengulang pola yang sama: hulu terus menurun daya dukungnya, hilir terus menanggung risiko banjir, dan pemerintah daerah terus merasa perlu membuka ruang baru demi mengejar PAD.
Padahal, jika PES diterapkan dengan benar, justru terbuka peluang pendapatan asli daerah (PAD) baru melalui mekanisme benefit transfer. BUMD atau BUMDes dapat diberi mandat untuk mengelola dana jasa lingkungan sebagai operator resmi. Dengan begitu, daerah tidak lagi bergantung pada eksploitasi ruang, tetapi memperoleh pendapatan dari aktivitas perlindungan ruang.
Di sinilah titik baliknya: hutan dapat menjadi sumber pendapatan, bukan sekadar ruang yang harus dikorbankan demi pendapatan. Penerapan PES tidak bisa dilakukan seketika. Jasa lingkungan perlu dinilai secara transparan dan dikelola oleh unit independen agar manfaatnya mengalir adil. Pemerintah juga harus berhenti melihat wilayah hulu sebagai beban pembangunan, karena ekonomi berbasis ekosistem hanya dapat berjalan jika hulu diberi insentif dan hilir ikut menanggung tanggung jawab.
Baca Juga: Kerugian Rp 150 Juta Warung Kelontong di Wonocatur Kebakaran
Intinya sederhana: merawat hutan menghasilkan manfaat yang dapat dihitung, dibayar, dan menjadi pendapatan sah bagi daerah. Yang kita perlukan bukan sekadar regulasi baru, tetapi perubahan cara pandang bahwa hutan adalah produsen jasa lingkungan, bukan lahan tidur. Jika perspektif ini diterapkan, kerentanan lanskap dapat ditekan dan bencana yang selama ini kita pelihara perlahan dapat dihentikan.(Dr. Muhammad Chrisna Satriagasa, M.Sc., M.Ec.Dev
Dosen Fakultas Kehutanan UGM dan Anggota ISEI Cabang Yogyakarta)