KRjogja.com - RUMAH merupakah persemaian harkat dan martabat manusia, memiliki rumah penting bagi eksistensi hidup manusia. Di Indonesia, dengan jumlah penduduk sekitar 287,6 juta jiwa (BPS, 2025), masih terdapat kekurangan sekitar 9,9 juta unit rumah untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang belum memiliki rumah, serta sekitar 26 juta unit rumah yang tergolong tidak layak huni (Data Kementrian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan).
Bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) kendalanya adalah terbatasnya bantuan dari pemerintah. Pemerintah nampak setengah-setengah dalam penyediaan dana sehingga tidak jelas pagu plafon untuk pembangunan rumah, padahal tanpa bantuan dana pemerintah hampir tidak mungkin masyarakat dapat memperoleh kredit rumah murah. Pemerintah juga kurang lincah dalam menggandeng pihak lain sehingga seolah-olah semua menjadi bebannya di tengah kondisi fiskal yang terbatas. sementara pengembang berkejaran dengan harga tanah, ruwetnya perijinan dan inflasi bahan bangunan semuanya menjadi benang kusut yang tiada terurai.
Secara konstitusional, UUD 45 kita menyatakan bahwa tempat tinggal merupakan hak dasar warga negara sehingga negara bertanggungjawab untuk membantu menyediakan kebutuhan rumah apa pun status haknya. Setelah sekian waktu politik kebijakan Pembangunan Rumah Subsidi seakan-akan mandek, Nampak mulai digencarkan lagi oleh presiden Prabowo melalui berbagai kebijakan untuk mempermudah akses pembangunan dan perolehan rumah terutama bagi MBR.
Salah satu persoalan utama dibidang perumahan khususnya bagi MBR adalah ketersedian tanah dan pembangunan infrastrukturnya. Perkembangan kota-kota menengah di Indonesia terkadang tidak dibarengi dengan penataan yang terencana terhadap peruntukan tanah. Dorongan kepentingan ekonomi lebih menonjol dibanding lainnya. Dititik ini, nilai tanah menjadi makin berarti, itu juga artinya harga tanah makin naik mengikuti kebutuhan pasar.
Bagi pengembang rumah subsidi, dengan patokan harga berkisar 166 juta di pulau jawa (Permen RI No 16/2025) makin sulit untuk memenuhi. Pun jika diperoleh, kendala berikutnya adalah letak yang jauh dari sarana transportasi dan fasilitas umum, akibat yang dapat kita lihat di beberapa tempat adalah banyak rumah terbangun, dijual atau ditinggal pemiliknya karena jauh dari tempat usaha, alih-alih ingin bahagia, yang terjadi malah tambah tidak sejahtera.
Pemerintah sebetulnya dapat mengatasi hal tersebut dengan mengaktifkan lembaga Bank Tanah yang dibentuk berdasar PP No 64 tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah. Tugas utamanya Bank Tanah adalah menjamin ketersediaan tanah bagi kepentingan umum, pembangunan dan sosial. Bahkan dalam Pasal 16 huruf p dipertegas tentang adanya jaminan ketersediaan tanah bagi pembangunan perumahan. Bank tanah bisa bekerja sama dengan Pemda-Pemda atau Perusahaan lain dalam mengembangkan misinya.
Bank Tanah pada hakikatnya dirancang sebagai land manager nasional yang mampu mengintervensi pasar tanah ketika dinamika harga dan ketersediaan lahan menghambat pemenuhan kebutuhan publik. Dalam konteks pembangunan rumah MBR, keberadaan Bank Tanah adalah instrumen strategis untuk mengamankan lahan dalam jumlah besar dengan harga terjangkau, sehingga biaya pembangunan dapat ditekan tanpa mengorbankan kualitas maupun lokasi. Pekerjaan Bank Tanah bukan hanya membeli tanah, melainkan membangun ekosistem tata ruang yang berkelanjutan.
Lembaga ini dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam identifikasi kawasan prioritas, melakukan land pooling, serta menata kembali lahan-lahan yang terbengkalai, terlantar, atau tidak produktif. Di sisi lain, kerja sama dengan BUMN, pengembang swasta, dan lembaga pembiayaan dapat membuka skema kolaboratif baru seperti land value capture, joint development, atau penyediaan infrastruktur dasar secara kolektif. Dengan mekanisme semacam ini, Bank Tanah dapat mengurangi hambatan paling mahal dalam pembangunan rumah rakyat, yakni biaya lahan dan prasarana awal.
Jika kebijakan Bank tanah efektif Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait, tidak perlu bersusah payah mencari sponsor serta partner untuk mewujudkan kebutuhan 3 juta rumah pada waktunya. (Prof. Dr. Winahyu Erwiningsih, S.H, M.Hum, Akademisi dan Notaris PPAT)