Omnibus Law, Omnibus Bencana

Photo Author
- Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, SH., MH.
Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, SH., MH.

KRjogja.com - BENCANA ekologis di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang ditandai dengan banjir bandang disertai hanyutnya ribuan gelondongan kayu yang terpotong rapi, tentu tidak bisa dijelaskan sebagai peristiwa alamiah semata. Peristiwa ini adalah hasil pertemuan dua penyebab besar yakni eksternal berupa anomali iklim global yang memicu curah hujan ekstrem, dan internal berupa kebijakan legislasi nasional yang secara sistematis melonggarkan perlindungan terhadap keberlangsungan hutan tropis Indonesia. Anomali cuaca adalah pemantik, tetapi hukum adalah bahan bakar yang membuat api bencana membesar dan tak terkendali.

Dari sisi eksternal, Wilayah Sumatera mengalami pola hujan yang semakin ekstrem. Dalam kondisi ekologis yang sehat, hutan primer dan sekunder tentunya mampu menyerap dan menahan limpasan air. Namun, ketika hutan telah terfragmentasi, lereng hulu gundul, dan daerah aliran sungai kehilangan vegetasi penyangga, maka air hujan berubah menjadi kekuatan destruktif yang menyeret tanah, batu, dan batang-batang kayu ke hilir.

Sementara itu dimensi internal, yakni kebijakan hukum Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) memainkan peran yang menentukan, sebab secara fundamental telang mengubah arsitektur perlindungan lingkungan hidup. Melalui Pasal 6 dan Pasal 7, demi peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha diperkenalkan paradigma perizinan berusaha berbasis risiko yang menjadikan tingkat bahaya suatu kegiatan sebagai dasar utama pemberian izin.

Aspek Lingkungan hidup tidak lagi menjadi kepentingan absolut yang harus dilindungi, melainkan hanya variabel yang dapat dinegosiasikan dalam kerangka kemudahan investasi. Hal ini merupakan pergeseran ideologis yang berbahaya, karena kehati-hatian digantikan oleh kalkulasi ekonomi.

Lebih jauh, Pasal 13 UU Cipta Kerja menyederhanakan dan mengintegrasikan persetujuan lingkungan ke dalam sistem perizinan berusaha. Instrumen-instrumen protektif seperti AMDAL dan UKL-UPL yang semula berdiri sebagai benteng ekologis, kini diposisikan sebagai hambatan birokrasi yang harus dipercepat, dipersingkat, dan disederhanakan. Akibatnya, banyak kegiatan yang berdampak besar dan penting terhadap lingkungan tidak lagi melalui proses evaluasi mendalam. Hutan lindung dan kawasan resapan air kehilangan perlindungan substantif, berubah menjadi objek administratif perizinan.

Lebih problematis, Pasal 19 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana diubah oleh UU Cipta Kerja membuka ruang perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan yang pengaturannya didelegasikan lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah. Skema ini pada hakikatnya bukan mekanisme pemulihan, melainkan mekanisme legalisasi administratif atas konversi kawasan hutan. Negara tidak lagi memposisikan perubahan fungsi kawasan sebagai penyimpangan luar biasa, melainkan sebagai prosedur normal yang cukup “diselaraskan” melalui regulasi turunan.

Arsitektur hukum seperti ini dalam praktik dikenal mengakibatkan model “pemutihan ekologis” dimana hutan tidak dihancurkan melalui pelanggaran hukum, melainkan melalui hukum itu sendiri. Inilah bentuk nyata dari kejahatan legislasi, dimana hukum digunakan bukan untuk memperbaiki kerusakan, tetapi untuk melegitimasi kerusakan yang telah terjadi.

Dalam ranah pengawasan, Pasal 11 UU Cipta Kerja menegaskan bahwa pengawasan terhadap setiap usaha dilakukan dengan pengaturan frekuensi pelaksanaan berdasarkan tingkat risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) dan mempertimbangkan tingkat kepatuhan Pelaku Usaha. Model ini membuat negara tidak lagi melakukan pengawasan menyeluruh, melainkan selektif dan reaktif.

Dalam konteks kehutanan, pola ini membuka ruang lebar bagi pembalakan masif yang secara kasat mata tercermin dalam batang-batang kayu yang dihanyutkan banjir bandang. Kayu-kayu itu bukan sekadar hasil kejahatan lapangan, melainkan bukti fisik dari desain hukum yang permisif.

Dengan demikian, relasi antara UU Cipta Kerja dan bencana ekologis bukan relasi kebetulan, melainkan relasi kausal. Anomali iklim hanyalah faktor akselerator. Faktor determinannya adalah kerangka hukum yang menjadikan hutan sebagai objek eksploitasi yang “aman secara administratif”. Inilah tragedi terbesar negara hukum modern, ketika kejahatan tidak lagi dilakukan di luar hukum, tetapi melalui hukum.

Jika paradigma ini terus dipertahankan, maka Indonesia bukan sedang memasuki era pembangunan, melainkan era normalisasi bencana. Dari sudut pandang hukum perundang-undangan, inilah saatnya menyebutnya tanpa ragu, bukan sekadar kegagalan kebijakan, tetapi kejahatan legislasi yang dilegalkan.(Dr. Benediktus Hestu Cipto Handoyo, SH., MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X