KRjogja.com - PERISTIWA seorang bupati yang memilih pergi keluar negeri ketika daerahnya sedang menghadapi bencana banjir dan longsor telah menjadi pembicaraan publik. Tindakan tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar tentang hakikat kepemimpinan kita. Kita menghadapi persoalan etika publik dan integritas moral dalam berpolitik.
Kehadiran sebagai Tanggungjawab Moral
Krisis ini mengingatkan kita pada gagasan Aristoteles (abad ke-4 SM) bahwa politik adalah tindakan etis tertinggi untuk mengatur kehidupan bersama demi tercapainya kebaikan tertinggi (summum bonum). Keputusan untuk meninggalkan daerah saat bencana merupakan bentuk kegagalan moral: pemimpin tidak menempatkan kebaikan tertinggi sebagai pusat tindakannya. Ia mengutamakan kepentingan pribadi di atas keselamatan warganya. Ia merusak keutuhan polis yang semestinya ia jaga.
Franz Magnis-Suseno, dalam Etika Politik (1999), menegaskan bahwa inti moral politik adalah tanggung jawab. Kekuasaan yang digunakan bukan untuk melindungi yang lemah merupakan bentuk pengkhianatan terhadap mandat rakyat. Kasus Aceh Selatan itu merupakan penyangkalan terhadap prinsip dasar etika politik: pemimpin harus hadir ketika rakyat dalam kesusahan. Keputusan untuk meninggalkan warganya yang sedang mencari perlindungan dari banjir melemahkan otoritas moralnya sebagai seorang pemimpin. Ketidakhadiran pemimpin ini merupakan bentuk hilangnya orientasi etis.
Ki Hadjar Dewantara (1936) menekankan semboyan ing ngarso sung tulodo, di depan memberi teladan. Kehadiran adalah teladan utama seorang pemimpin. Di tengah-tengah bencana, kehadiran seorang pemimpin merupakan wujud solidaritas yang paling konkret yang memberikan penguatan psikologis, moral, bahkan spiritual bagi masyarakat. Dengan tidak hadir, pemimpin gagal menunaikan fungsinya yang paling mendasar: menjadi teladan dalam kesetiaan terhadap rakyat. Dalam bahasa Emmanuel Levinas (1961), pemimpin itu lari dari tanggungjawab dan menutup diri dari panggilan etis yang muncul dari “wajah yang lain”, yaitu penderitaan sesama.
Tanggungjawab Sosial sebagai Bentuk Ibadah
Sebagian orang mungkin membela keputusan itu karena alasan kepergiannya adalah untuk melaksanakan ibadah umrah. Di sinilah letak persoalan moralnya. Dalam berbagai tradisi keagamaan, ibadah sejati tidak pernah dipisahkan dari tanggung jawab sosial. Ritual harus melahirkan kepedulian, bukan mengurangi komitmen terhadap sesama. Ketika ibadah dijalankan dengan mengabaikan tanggung jawab publik, ibadah berubah menjadi ritual yang kehilangan makna etis. Ibadah menjadi pelarian, bukan transformasi. Maka kritik publik terhadap bupati tersebut bukanlah kritik terhadap agama, melainkan terhadap pemisahan keliru antara spiritualitas dan etika sosial.
Dari sudut politik, tindakan ketidakhadiran seorang pemimpin di masa krisis melemahkan legitimasi politiknya. Legitimasi tidak hanya terbentuk melalui proses pemilihan, tetapi terutama melalui kehadiran berkelanjutan dalam kehidupan dan penderitaan masyarakat. Dalam kultur politik Indonesia, kehadiran fisik pemimpin sering kali menjadi simbol kepedulian. Ketika simbol ini runtuh, kepercayaan publik ikut runtuh. Reaksi masyarakat, teguran pemerintah pusat, hingga sanksi internal partai menunjukkan betapa besar erosi legitimasi tersebut.
Kasus ini juga memperlihatkan kelemahan mekanisme pengawasan pejabat publik. Sistem izin perjalanan, pengawasan DPRD, dan peran Kemendagri harus diperkuat agar tidak ada lagi pejabat yang dapat meninggalkan daerah secara bebas pada masa bencana. Kelemahan institusional ini menunjukkan bahwa demokrasi kita masih bertumpu pada kesadaran pribadi pemimpin, bukan pada sistem yang kokoh dan berintegritas.
Kepemimpinan sebagai Pelayanan
Apa pelajaran moral dan politik peristiwa ini bagi kita? Peristiwa ini mengingatkan bahwa pemimpin publik harus terus dipantau, dikritik, dan dimintai pertanggungjawaban. Demokrasi hidup bukan karena kekuatan pemimpin, melainkan karena kewaspadaan moral warganya. Bagi para pemimpin, peristiwa ini adalah seruan untuk kembali kepada etika dasar: kepemimpinan adalah pelayanan, bukan privilese.
Indonesia membutuhkan pemimpin yang hadir, bukan yang sekedar tampil dalam baliho atau upacara. Kasus Aceh Selatan memberi pesan kuat bahwa di tengah bencana dan ketidakpastian, kehadiran pemimpin adalah bentuk ibadah yang paling nyata. Ibadah yang sejati selalu mengalir dalam tanggung jawab sosial. Tanpa itu, kepemimpinan kehilangan rohnya.(Bernardus Agus Rukiyanto, Dosen Universitas Sanata Dharma)