KRjogja.com - KETIKA bencana banjir besar melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat akibat siklon tropis Senyar, ribuan nyawa tergulung, ratusan hilang, dan jutaan lainnya terpaksa mengungsi. Di tengah keputusasaan, kebutuhan mendasar seperti makanan dan air bersih menjadi prioritas utama. Namun, kerusakan infrastruktur yang masif, terputusnya jalur distribusi, serta kelangkaan listrik dan air bersih membuat pengiriman bantuan pangan segar menjadi nyaris mustahil.
Dalam situasi seperti ini, bantuan pangan dalam bentuk makanan olahan kemasan menjadi penyelamat. Makanan kaleng, mi instan, biskuit berfortifikasi, susu UHT, dan produk sejenisnya yang sering kali di-cap sebagai “tidak sehat” oleh kampanye publik justru menjadi solusi nyata karena tahan lama, mudah didistribusikan, tidak memerlukan pendinginan, dan siap dikonsumsi dengan cepat. Di saat yang sama, sayuran, daging, ikan, dan bahan segar lainnya cepat rusak, butuh air dan energi untuk memasak, serta sulit disimpan dalam kondisi darurat.
Fenomena ini mempertanyakan narasi publik yang belakangan ini gencar disuarakan oleh sebagian ahli gizi bahwa makanan olahan, apalagi yang disebut sebagai “Ultra-Processed Food” (UPF), adalah musuh kesehatan. Istilah UPF, yang dipopulerkan oleh sistem klasifikasi NOVA, sering disederhanakan menjadi sinonim dari “makanan tidak bergizi”. Padahal, dalam perspektif teknologi pangan, penyebutan ini tidak hanya keliru, tetapi juga menyesatkan masyarakat, terutama di saat krisis seperti sekarang.
Persatuan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), dalam dokumen posisinya, menegaskan bahwa menyamakan seluruh makanan olahan sebagai “tidak sehat” adalah penyederhanaan yang berbahaya. Makanan olahan bukanlah satu kategori monolitik. Ada spektrum yang luas, mulai dari pembekuan sayuran hingga fortifikasi susu dengan vitamin D. Fokus seharusnya bukan pada “seberapa lanjut diolah”, tetapi pada “untuk apa diolah” dan “bagaimana nilai gizinya”.
Dalam konteks bencana, proses pengolahan justru menjadi penyelamat. Pasteurisasi pada susu UHT mematikan bakteri penyebab penyakit. Pengalengan ikan dan sayur memperpanjang umur simpan dan mengurangi sampah makanan. Fortifikasi pada mi atau biskuit memastikan korban bencana tetap mendapat asupan vitamin dan mineral penting di tengah keterbatasan. Tanpa teknologi pangan, mustahil memberi makan jutaan pengungsi dengan aman, cepat, dan berkelanjutan.
Sebutan UPF sebaiknya ditinggalkan atau diganti dengan deskripsi yang lebih tepat yaitu pangan olahan yang diformulasi dengan berbagai bahan aditif. Dengan begitu, publik bisa lebih paham bahwa bukan proses pengolahan yang disalahkan, melainkan pemakaian aditif yang berlebihan. Industri pangan olahan didorong untuk berinovasi menciptakan produk yang lebih sehat. Masyarakat diajak menjadi konsumen cerdas yang membaca label, memahami konteks, dan menerapkan prinsip beragam dan moderasi dalam mengonsumsi.
Di Sumatera hari ini, mi instan berfortifikasi bukanlah musuh, tapi penyambung nyawa. Susu UHT bukan ancaman, tetapi sumber protein yang aman. Makanan kaleng bukan simbol kemalasan, tetapi bukti kecerdasan teknologi pangan dalam mengatasi kedaruratan. Kita tidak bisa membiarkan narasi hitam-putih tentang “UPF” mengaburkan kontribusi nyata makanan olahan dalam menyelamatkan manusia, mengurangi kelaparan, dan menjawab tantangan logistik pasca bencana.
Marilah kita melihat makanan olahan dengan kacamata yang lebih bijak yaitu sebagai alat. Seperti pisau, ia bisa digunakan untuk memotong sayur atau melukai orang. Yang penting adalah bagaimana kita memformulasikannya, mengonsumsinya, dan mengatur kebijakannya. Di saat banjir melanda, makanan olahan adalah jawaban, bukan masalah. Di masa normal, ia adalah bagian dari solusi pangan berkelanjutan, selama kita tetap kritis, terdidik, dan bertanggung jawab.
Saatnya kita mengalihkan fokus dari menakut-nakuti konsumen dengan kata “ultra processed” yang dimaknai keliru, menuju mendidik tentang gizi dan transparansi label, bukan stigma. (Prof. Sri Raharjo, Pusat Studi Pangan dan Gizi, UGM)