Kutukan Sumber Daya

Photo Author
- Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
Catur Sugiyanto.
Catur Sugiyanto.


KRjogja.com - INDONESIA adalah negeri yang kaya sumber daya alam. Minyak, gas, batubara, nikel, emas, hingga sawit bertebaran dari hulu sampai hilir. Namun kekayaan ini memunculkan ironi yang sulit diabaikan: daerah-daerah yang paling kaya sering kali menjadi yang paling rentan. Rentan terhadap kemiskinan, perubahan ekonomi mendadak, ketimpangan, dan yang kini semakin terlihat—bencana ekologis seperti banjir besar. Fenomena inilah yang oleh para akademisi disebut resource curse, atau “kutukan sumber daya”.

Istilah tersebut diperkenalkan oleh Richard Auty pada 1993 dan dikukuhkan oleh Sachs dan Warner (1995). Mereka menemukan bahwa negara kaya SDA justru tumbuh lebih lambat daripada negara yang miskin sumber daya. Michael Ross (2001–2015) kemudian menunjukkan bagaimana minyak dan mineral cenderung memicu korupsi, memperlemah lembaga, dan memicu konflik. Sumber daya alam justru jebakan.

Mengapa kekayaan alam berubah menjadi kutukan? Ada tiga penyebab utama. Pertama, ketergantungan pada komoditas membuat perekonomian rapuh. Harga sawit, batubara, dan minyak sangat fluktuatif. Saat harga naik, daerah tampak makmur. Tetapi saat harga turun, pendapatan yang semula besar tiba-tiba menguap, menyebabkan ketidakstabilan fiskal. Kedua, pemerintah daerah yang mendapat banyak dana dari sumber daya cenderung tidak memperhatikan pajak. Akuntabilitas melemah, dan ruang untuk korupsi melebar. Ketiga, besarnya rente membuat izin tambang dan perkebunan menjadi rebutan, membuka peluang penyalahgunaan wewenang.

Tiga masalah ini sebenarnya sudah lama dibahas, tetapi kini kita melihat wujud paling kasat matanya: kerusakan lingkungan yang menyebabkan banjir besar. Sumatra adalah contoh yang memprihatinkan. Banjir yang berulang di Sumatra bukan hanya soal tingginya curah hujan. Alam memang sedang berubah, tetapi tangan manusia membuatnya lebih buruk. Hutan di hulu sungai—yang seharusnya menjaga keseimbangan air—banyak dibabat. Air hujan yang turun tidak punya tempat lagi untuk meresap. Ia mengalir deras ke hilir, membawa lumpur dan material lain yang kemudian mengangkat dasar sungai.

Di Sumsel dan Jambi, pertambangan batubara di dekat sungai turut memperparah keadaan. Lubang-lubang tambang yang tidak direklamasi menjadi sumber longsoran ketika hujan turun. Sedimen meningkat, sungai meluap, dan desa-desa di hilir menjadi korban. Pendekatan ekonomi ekstraktif tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan menjadikan bencana, sebagai sesuatu yang pasti terjadi. Inilah wajah resource curse di Indonesia: kekayaan yang diambil terlalu cepat, sementara pemulihan lingkungan berjalan sangat lambat.

Mengapa ini terjadi? Salah satunya adalah insentif fiskal yang tidak berpihak pada keberlanjutan. Banyak pemerintah daerah bergantung pada pendapatan dari sawit dan tambang. Ketika PAD dan dana bagi hasil meningkat, daerah merasa terdorong mengeluarkan izin baru. Inilah yang disebut incentive trap: ketergantungan yang membuat daerah sulit keluar dari pola eksploitasi. Ross (2015) mengingatkan bahwa korupsi perizinan dan lemahnya tata kelola adalah penyebab utama kerusakan sistemik di negara kaya SDA.

Masalah lain muncul dari tata ruang. Kawasan lindung kerap dipersempit demi investasi. Sempadan sungai yang seharusnya steril justru ditanami sawit. Sungai-sungai yang dulunya jernih kini dangkal dan keruh. Ketika curah hujan tinggi, tidak ada lagi mekanisme alamiah untuk menahan air. Akibatnya, banjir tidak hanya merusak rumah dan sawah, anak-anak tidak bisa sekolah, dan aktivitas ekonomi lumpuh.

Namun, kutukan ini bukan takdir, bisa diubah oleh kebijakan pula. Ada lima langkah penting yang perlu dilakukan pemerintah.

Pertama, perbaiki tata kelola SDA secara fundamental. Perizinan harus transparan, pengawasan diperketat, dan penegakan hukum tidak boleh lagi tebang pilih. Tanpa tata kelola yang baik, semua upaya perbaikan lingkungan akan selalu kalah cepat dari laju kerusakan.

Kedua, lindungi kawasan hulu dan daerah aliran sungai. Tidak boleh ada pembukaan lahan baru di daerah kritis. Restorasi hutan dan gambut harus menjadi prioritas. Pemerintah juga harus memastikan reklamasi tambang berjalan sebagaimana mestinya.

Ketiga, dorong diversifikasi ekonomi daerah. Selama ekonomi daerah bergantung pada sawit dan batubara, tekanan terhadap hutan tidak akan berkurang. Pemerintah harus memberi insentif bagi sektor lain—agroindustri, pariwisata, UMKM, dan ekonomi hijau.

Keempat, bangun infrastruktur pengendali banjir berbasis alam. Kolam retensi, ruang terbuka biru, kanal alami, dan restorasi sungai jauh lebih efektif
daripada betonisasi semata. Kita perlu kembali memahami logika alam agar air bisa mengalir tanpa merusak.

Kelima, bentuk mekanisme tabungan SDA. Pendapatan sumber daya tidak boleh habis dikonsumsi hari ini. Daerah harus memiliki cadangan fiskal—semacam sovereign wealth fund daerah—agar tetap stabil ketika harga komoditas jatuh.

Pada akhirnya, Indonesia tidak kekurangan kekayaan alam. Yang kita butuhkan adalah keberanian mengelola kekayaan itu secara bijak. Bila tata kelola dibenahi, lingkungan dipulihkan, dan ekonomi daerah dibuat lebih beragam, sumber daya alam akan kembali menjadi berkah, bukan bencana. Semoga.(Prof. Catur Sugiyanto, Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM)

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Danar W

Tags

Rekomendasi

Terkini

Manusia Unggul Indonesia Dambaan Ki Hadjar Dewantara

Kamis, 18 Desember 2025 | 17:54 WIB

Cashless Pangkal Boros?

Rabu, 17 Desember 2025 | 23:35 WIB

Festival Jaranan Bocah Meriahkan Desa Besowo Kediri

Selasa, 16 Desember 2025 | 12:15 WIB

JOS Atau 'Ngos'

Selasa, 16 Desember 2025 | 10:10 WIB

Digital Multisensory Marketing

Selasa, 16 Desember 2025 | 08:10 WIB

Krisis Kehadiran Publik

Senin, 15 Desember 2025 | 08:55 WIB

Kutukan Kekayaan Alam

Rabu, 10 Desember 2025 | 17:10 WIB

Ilmu Dekave

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:50 WIB

Mengetuk Peran Bank Tanah dalam Penyediaan Rumah

Selasa, 9 Desember 2025 | 17:10 WIB

Omnibus Law, Omnibus Bencana

Selasa, 9 Desember 2025 | 13:22 WIB

Korban Bencana Butuh 'UPF'

Minggu, 7 Desember 2025 | 20:50 WIB

Payment for Ecosystem Services

Minggu, 7 Desember 2025 | 18:00 WIB

Kutukan Sumber Daya

Sabtu, 6 Desember 2025 | 23:00 WIB
X