KRjogja.com - PENGGUNAAN pembayaran digital di Indonesia tumbuh sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Di kota-kota besar, salah satunya Yogyakarta, hampir setiap transaksi dapat dilakukan dengan memindai kode QR. Di warung, pegadang kaki lima, sampai tempat parkir, kini semuanya bisa dilakukan dengan satu sentuhan layar melalui teknologi QRIS. Manfaat utama yang dirasakan adalah kepraktisan, masyarakat tidak perlu lagi membawa uang kas untuk bertransaksi. Di sisi lain, muncul fenomena baru yaitu masyarakat menjadi lebih mudah mengeluarkan uang tanpa benar-benar menyadarinya. Tanpa adanya uang fisik yang berpindah tangan, proses membayar terasa abstrak dan tidak terasa ada “nilai” yang telah keluar dari kantongnya. Pertanyaannya, apakah pergeseran menuju cashless society justru membuat kita semakin boros?
Transformasi digital pada sektor keuangan memang tidak dapat dihindari. Pemerintah bersama Bank Indonesia mendorong penggunaan QRIS, e-wallet, hingga mobile banking untuk meningkatkan efisiensi dan mendorong inklusi keuangan. Bahkan saat ini QRIS sudah dapat digunakan di negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam, bahkan Jepang. Di banyak sisi, perubahan ini positif karena proses transaksi lebih cepat, lebih aman, dan lebih transparan. Kemudahan tersebut justru membuat batas antara membayar dan mengeluarkan uang menjadi kabur bagi konsumen. Pertanyaan selanjutnya, mengapa teknologi cashless dapat membuat masyarakat semakin boros?
Secara psikologis, pembayaran digital mengurangi pain of paying. Saat membayar dengan uang tunai, seseorang akan membuka dompetnya kemudian mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar. Melihat uang keluar, diserahkan kepada pedagang, dan melihat uang kita berkurang membuat kita merasakan kehilangan yang nyata. Sebaliknya, pembayaran digital berlangsung hampir tanpa friksi. Kita tidak perlu menghitung uang dan mengeluarkannya dari dompet, prosesnya mudah dan cepat sekali dengan sentuhan layar. Hal ini mengurangi sensasi kehilangan, sehingga perilaku konsumsi menjadi lebih impulsif.
Fenomena ini juga diperkuat dengan promosi menggunakan fitur yang seringkali ditawarkan oleh platform digital, yaitu paylater. Penggunaan paylater menambah lapisan risiko lain, yaitu menunda rasa sakit membayar ke masa depan. Banyak orang akhirnya membeli bukan karena kebutuhan, melainkan karena tawaran yang tampak sayang untuk dilewatkan. Alih-alih menghemat, promosi justru mendorong peningkatan frekuensi belanja. Kemudahan berbelanja juga meningkatkan konsumsi barang-barang tersier dengan nominal yang kecil. Dengan proses pembayaran yang sederhana dan cepat, banyak orang meningkatkan konsumsinya. Apabila hal ini dilakukan berulang kali pun juga akan menghasilkan jumlah yang signifikan, walaupun bermula dari nominal yang sedikit.
Cashless society bukanlah hal yang buruk. Justru sebaliknya, digitalisasi pembayaran merupakan bagian penting dari perkembangan ekonomi modern. Perlu disadari pula, kemudahan ini dapat berubah menjadi jebakan konsumsi apabila tidak diimbangi dengan literasi finansial yang memadai. Teknologi tidak salah, perilaku manusia yang perlu lebih bijaksana dalam memanfaatkan teknologi.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk mulai menerapkan strategi pengelolaan keuangan pribadi. Menetapkan anggaran harian, mingguan, ataupun bulanan, menggunakan dompet digital terpisah untuk kebutuhan tertentu, meninjau ulang riwayat transaksi secara berkala, serta membatasi penggunaan paylater hanya untuk kebutuh produktif adalah beberapa langkah sederhana yang dapat dilakukan.
Cashless society menghadirkan banyak keuntungan, tetapi juga menuntut kesadaran baru dalam pengelolaan keuangan pribadi. Di tengah arus digitalisasi yang semakin cepat, disiplin finansial menjadi kunci agar kita tidak terjebak dalam konsumsi impulsif yang tidak perlu. Pada akhirnya, teknologi memang memudahkan hidup kita. Namun demikian, tanpa kontrol diri, teknologi juga dapat membuat seseorang terlena dan menyebabkan keborosan. (Ignatia Eka Puspita K., S.Ak., MBA.
Dosen Manajemen, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta)