KRjogja.com - JAKARTA – Indonesia, dengan sejarah budaya yang membentang sejak manusia purba hingga era digital, kini dihadapkan pada tantangan menemukan kembali identitasnya. Pesan itu mengemuka dalam forum GREAT Lecture bertajuk “Polemik Kebudayaan Manusia Indonesia: Dunia Baru dan Kebudayaan Baru” di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis (14/8/2025) dengan Menteri Kebudayaan Fadli Zon sebagai pembicara utama.
Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Syahganda Nainggolan, membuka diskusi dengan kritik pedas: elite politik kerap buta budaya. “Elit harus paham budaya, terutama di wilayah kepemimpinannya sendiri,” ujarnya.
Ia menyesalkan matinya ruang diskusi budaya di ruang publik dan televisi. “Jika pembicaraan soal budaya berhenti, kita kehilangan nilai keadaban itu sendiri.”
Fadli Zon menelusuri sejarah dialektika kebudayaan, dari Polemik Kebudayaan 1930-an hingga Manifes Kebudayaan versus Lekra di era 1960-an. Namun baginya, yang penting bukanlah menang dalam perdebatan, melainkan menjaga ruang pergulatan gagasan.
“Kita harus reinvent identitas Indonesia,” tegas Fadli. Ia menyoroti dua ciri pokok budaya Nusantara: kekayaan dan ketuaan. Kekayaan itu, katanya, bukan sekadar keberagaman, tapi keberlimpahan, baik budaya berwujud (tangible) maupun tak berwujud (intangible).
“Budaya kita ini mega-diversity. Yang tak berwujud saja tercatat 2.213, tapi baru 16 diakui UNESCO,” ujarnya, seraya mengingatkan Pasal 32 UUD 1945 yang menjamin kebebasan masyarakat memelihara budaya.
Fadli juga mengingatkan bahwa peradaban Nusantara sudah global sebelum istilah globalisasi dikenal.
Baca Juga: MBG dan Kopdes Merah Putih “Jalan Tol” untuk Pengentasan Kemiskinan
“Kita ini melting pot sejak dulu kala. Nusantara bukan tujuan, tapi titik keberangkatan dunia,” katanya, mengacu pada bukti arkeologis Homo erectus di Indonesia dan lukisan gua tertua di dunia di Maros dan Muna.
Okky Madasari, sosiolog dan sastrawan, mengingatkan bahwa sejarah budaya Indonesia selalu lahir dari perlawanan terhadap model dominan.
“Jangan ada pembungkaman. Jangan ada narasi tunggal,” tegasnya, sembari menekankan penulisan ulang sejarah harus melibatkan publik, akademisi, dan sastrawan, bukan hanya pemerintah.
Filsuf Alfathri Adlin menyoroti pendidikan yang ia nilai “sekadar mencetak tukang” tanpa menumbuhkan cinta ilmu. Peneliti Hanief Adrian mengangkat kejayaan Sriwijaya atau Zabazh yang memperkenalkan budaya emas ke Afrika, Eropa, dan Arab.