peristiwa

Aktivis HAM dan Akademisi Yogyakarta Tolak Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

Sabtu, 1 November 2025 | 08:45 WIB
Aktivis HAM dan akademisi Yogyakarta saat menyatakan pernyataan sikap (Istimewa )

Krjogja.com - YOGYA - Sejumlah akademisi, pegiat hak asasi manusia (HAM) dan mahasiswa menolak pemberian gelar pahlawan nasional pada Soeharto. Presiden Kedua RI itu justru layak menyandang gelar sebagai pelanggar HAM yang harus diadili.

Hal itu mengemuka dalam acara bedah Buku “Mereka Hilang Tak Kembali: Sejarah Kekerasan Orde Baru 1966-1998” di Gedung Universitas Islam Indonesia (UII) Cik Di Tiro, Yogyakarta, Jumat (31/10/2025) malam. Saat ini usulan Soeharto sebagai pahlawan nasional telah bergulir dan tinggal menunggu keputusan Presiden Prabowo Subianto.

Sejumlah pihak terutama pegiat HAM juga telah menolak usulan tersebut. Salah satu penulis buku yang diterbitkan oleh EA Books tersebut, AS Rimbawana, memaparkan selama Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto banyak pelanggaran HAM di berbagai daerah. Mulai dari peristiwa 1965, Malari (1974), konflik panjang di Aceh, Timor Timur, dan Papua, hingga peristiwa penembakan misterius (Petrus) (1982-1985).

Baca Juga: Kisah Ki Gadhing Pawukir Yang Mendalang di Samben Sedayu dan Sukses Menggaet Kawula Muda

"Soeharto juga bertanggung atas peristiwa pelanggaran HAM di Tragedi Tanjung Priok (1984), Talangsari (1989), Kudatuli (1996), penculikan aktivis (1997-1998), geger dukun santet (1998), hingga Tragedi Semanggi 1 &2 (1998 & 1999)," ungkapnya.

Ia menambahkan, meski Soeharto sudah tumbang, berbagai peristiwa pelanggaran HAM itu masih menyisakan trauma kolektif yang mendalam. Soeharto juga dinilai turut mewariskan sistem pemerintahan otoritarian yang sampai hari ini terus dipakai. 

Baca Juga: Kekesalan Van Gastel karena Kartu Kuning Wasit untuk Pulga Vidal

Untuk itu ia menyimpulkan Soeharto tidak pantas menyandang gelar pahlawan nasional. "Dia justru lebih pantas dijuluki sebagai penjahat HAM masa lalu yang sampai sekarang para korbannya masih menunggu keadilan," kata Rimba.

Arsiparis dan peneliti, Muhidin M. Dahlan, menyatakan buku “Mereka Hilang Tak Kembali” telah merangkum dengan baik perilaku kekuasaan yang sarat kekerasan selama masa kepemimpinan oleh Soeharto. "Buku ini secara jelas telah menegaskan, bahwa Jenderal Soeharto adalah dalang segala peristiwa pelanggaran HAM," tandasnya.

Muhidin menambahkan, berdasarkan dokumen sejarah, Soeharto mengalami perundungan (bullying) di masa hidupnya, sehingga memiliki trauma. Karena itu, saat berkuasa selama 32 tahun, ia merasa tak bersalah melakukan pelanggaran dan penyimpangan kekuasaan.

Baca Juga: Siswa MAN 3 Bantul Raih Emas di FIKSI 2025, Bikin Aplikasi Wukirtech Angkat Pariwisata Imogiri

Saat ini, sebuah Museum Soeharto telah berdiri di Sedayu, Bantul, Yogyakarta. "Ketika Soeharto menjadi pahlawan, maka tinggal menunggu waktu saja untuk merambah ke hal-hal lain, misal nanti ada Jalan Soeharto atau patung Soeharto di jalan-jalan strategis," celetuk Muhidin.

Adapun Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Masduki, menilai Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto telah melakukan empat kekerasan. Pertama, kekerasan fisik oleh aparat militer seperti dapat dilihat dari berbagai peristiwa pelanggaran HAM dari periode 1965 hingga Reformasi 1998.

Kedua, Orde Baru juga melakukan kekerasan simbolik melalui narasi-narasi represif, baik pada komunikasi verbal maupun non-verbal, dari sikap hingga mimik wajah. Salah satunya adalah narasi "Orde Lama dan Orde Baru" juga sosok "Smilling General" alias "Jenderal Murah Senyum" pada diri Soeharto di balik segala tindakannya.

Halaman:

Tags

Terkini

Menteri Agama Luncurkan Dana Paramita bagi ASN Buddha

Minggu, 21 Desember 2025 | 20:21 WIB

Lagi, Kilang Pertamina Luncurkan Produk Setara Euro 5

Minggu, 21 Desember 2025 | 15:00 WIB

Unpad Bandung Juara I UII Siaga Award 2025

Sabtu, 20 Desember 2025 | 09:30 WIB