Exit exam Mengancam Lulusan Atau Justru Peluang?

Photo Author
- Selasa, 5 Januari 2021 | 08:48 WIB
Anita Lutfianti
Anita Lutfianti

SEMARANG,KRJOGJA.com- Proses Pendidikan Tinggi berakhir dengan proses wisuda sebagai tanda kelulusan, rasa bahagia dan suka cita bahkan euphoria menyambut semua lulusan. Akankah euphoria akan berlangsung abadi? Tentu saja tidak karena pembuktian dari usaha selama menempuh pendidikan merupakan aplikasi ilmu dalam dunia kerja tak terkecuali lulusan perguruan tinggi (PT) yang termasuk calon tenaga kesehatan.

Perjuangan calon tenaga kesehatan tidak hanya berhenti sampai dipindahkannya tali toga dari kiri ke kanan oleh rektor PT masing–masing. Tetapi setiap lulusan akan dihadapkan dengan ujian kompetensi untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR). Sampai saat ini keluhan demi keluhan banyak disampaikan calon tenaga kesehatan khususnya lulusan perawat terkait uji kompetensi dan bagaimana cara mendapatkan STR dengan mudah agar dapat bekerja di pelayanan kesehatan.

Keluhan klasik tentang STR tidak akan habis ditelan masa karena akan berlaku seleksi alam, siapa yang mampu melaksanakan proses dengan baik maka akan lulus sebagai perawat yang kompeten. Aturan tentang mekanisme Uji Kompetensi (UK) telah mengalami perubahan, sejak kebijakan tentang UK muncul dan diatur dalam UU no 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan dan UU no 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang mengamanatkan semua tenaga kesehatan yang akan memberikan pelayanan kesehatan harus sudah lulus UK dengan tujuan melakukan evaluasi terhadap sistem dan kompetensi tenaga kesehatan untuk mencapai kualitas pendidikan menjadi lebih baik.

Menurut dosen Universitas An Nur (Unan) Purwodadi Ns Anita Lufianti MKes MKep yang juga mahasiswa Program Doktoral (S3) Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sebelas Maret (IKM UNS), Exit exam menjadi fenomena ditakuti mahasiswa dan lulusan, karena mahasiswa dinyatakan lulus PT bila telah lulus uji kompetensi (UK). Penerapan awal metode exit exam menjadi penentu mendapatkan ijasah dan Surat Tanda Register (STR) masih menyisakan masalah dengan banyaknya mahasiswa yang tidak kompeten.

“Tahun 2019 sempat timbul polemik untuk exit exam tetapi Himpunan Pendidikan Tinggi Kesehatan (HPTKes) selaku himpunan yang membawahi perguruan tinggi kesehatan meminta kebijakan tersebut ditunda. Penundaan sebagai upaya mahasiswa dan lulusan mempersiapkan exit exam. Kebijakan exit exam diatur dalam Permenristekdikti no 12 tahun 2016 tentang Uji Kompetensi Tenaga Kesehatan. Kebijakan tersebut direvisi dengan Permendikbud Nomor 2 Tahun 2020 tentang tata cara uji kompetensi mahasiswa bidang kesehatan. Kebijakan ini mencabut Permenristekdikti no 12 tahun 2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Uji Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan” ujar Anita Lutfianti yang juga Rektor Unan Purwodadi kepada pers di Semarang, Senin (4/1/2021)..

Menurutnya pula, Permendikbud Nomor 2 Tahun 2020 mengatur tentang persentase kelulusan nilai akademik 60% dan Uji Kompetensi 40%. Sehingga selama mahasiswa belum lulus uji kompetensi masih menjadi tugas perguruan tinggi untuk membekali mereka. Kebijakan ini bisa menjadi angin segar bagi mahasiwa maupun perguruan tinggi karena selama ini Uji Kompetensi 100% sebagai syarat untuk mendapatkan STR. STR menjadi syarat untuk mendapatkan Surat Ijin Praktik (SIP) sehingga jika belum lulus uji kompetensi tidak dapat mendapatkan STR dan belum mendapatkan surat ijin praktik di layanan kesehatan.

“Setiap tenaga kesehatan (nakes) wajib memiliki STR, semacam surat ijin mengemudi bagi pengendara motor. Seorang nakes yang memiliki STR secara umum dianggap memiliki kompetensi yang dimiliki oleh tenaga kesehatan pada umumnya. Pemenuhan kompetensi melalui kepemilikan STR yang didapatkan setelah menyelesaikan uji kompetensi menjadi hal yang penting. Kebijakan pemerintah melalui rumah sakit meminta perawat memiliki STR. Kepemilikan STR selain baik bagi perawat yang bersangkutan juga baik bagi instansi pelayanan. Kepemilikan STR menjadi syarat mutlak dalam sebuah akreditasi.

Untuk mendapatkan STR ada 2 jalur yang bisa ditempuh perawat, untuk perawat baru lulus caranya dengan mengikuti uji kompetensi yang diselenggarakan oleh instansi terkait, sedangkan untuk perawat yang sudah bekerja lama dengan cara memenuhi SKP. SKP ini terdiri dari beberapa hal, misalnya mengikuti kegiatan pengembangan diri, mengikuti kegiatan penelitian, mengikuti kegiatan pengabdian, aktif di organisasi profesi dan lain-lain” ujar Anita Lutfianti.

Lebih lanjut menurut Anita Lutfianti, di satu sisi kebijakan STR memberatkan perawat yang baru lulus maupun bagi perawat lama karena selain harus melakukan kegiatan pengembangan diri dengan harga yang lumayan, mereka harus menyisihkan waktu untuk mengikuti kegiatan tersebut. Kegiatan pengembangan diri ini harus terdaftar di Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sehingga diakui. Jika tidak, maka sertifikatnya tidak diakui. Pengakuan sertifikat selain membutuhkan biaya, membutuhkan waktu juga membutuhkan langkah-langkah lain berupa pengesahan sertifikat di Dewan Pengurus Daerah (DPD) masing-masing kota/kabupaten.

“STR menjadi syarat nakes mendapatkan pekerjaan, bagaimana nakes yang belum memiliki STR? Mereka cenderung ganti haluan, beralih profesi dan lain-lain. Ini menjadi persoalan baru ketika lulusan perawat menjadi tidak tertarik belajar keperawatan, malah tertarik bekerja di instansi perbankan, perusahaan, dan dunia lain yang tidak terlalu berhubungan erat dengan kesehatan. Hal ini bisa menjadi bumerang bagi pendidikan keperawatan di Indonesia, dengan biaya yang lumayan mahal, lulus terganjal uji kompetensi dan STR, kemudian setelah mereka bekerja ternyata gajinya dibawah UMR/UMK” ungkap Anita Lutfianti.

Di sisi lain menurut mahasiswa S3 IKM UNS ini, pendidikan tinggi diminta memiliki kreatifitas mengembangkan kapasitas institusinya. Karena mendapatkan nilai rendah di uji kompetensi (UK) akan merusak reputasi kampus yang bersangkutan. Peningkatan mutu pendidikan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh perguruan tinggi (PT) jika ingin tetap survive dan bertahan di masa depan. Tuntutan masyarakat yang semakin meningkat, kompetisi dengan kampus luar negeri yang semakin kuat, kompetisi antar profesi menjadi tantangan bagi PT untuk memperbaiki kinerja PT-nya. Peningkatan mutu dapat dilakukan dengan peningkatan SDM yang bersangkutan dalam merespon kebijakan exit exam tersebut, mengikuti pelatihan terkait penyusunan dan analisis soal atau item review dan item development.

Kebijakan ini, ujar Anita, bisa menjadi peluang bagi PT meningkatkan mutu pendidikannya sekaligus menjadi ancaman bagi PT yang selama ini hanya perduli kualitas ketika menjalani akreditasi. Tuntutan mutu pendidikan ini sejalan dengan UU No 12 tahun 2012 tentag Pendidikan Tinggi bahwa setiap PT wajib menjamin kualitas lulusan. Dengan jaminan kualitas pendidikan yang lebih baik maka masyarakat sebagai pengguna lulusan akan mendapatkan jaminan bahwa lulusan PT memang sudah kompeten untuk mengelola dan melayani pasien di tatanan kesehatan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: tomi

Tags

Rekomendasi

Terkini

Libur Nataru, PLN Siagakan 315 SPKLU di Jateng-DIY

Jumat, 19 Desember 2025 | 23:10 WIB

FEB Unimus Gelar Entrepreneurship Expo and Competition

Jumat, 19 Desember 2025 | 20:30 WIB

HISPPI PNF Jawa Tengah Resmi Dikukuhkan

Jumat, 12 Desember 2025 | 16:10 WIB

Kasus HIV/AIDS di Salatiga 1.055 Kasus

Kamis, 11 Desember 2025 | 10:05 WIB
X