Industri Rokok Termarjinalkan, Pemerintah Butuh Cukai

Photo Author
- Kamis, 30 November 2017 | 19:50 WIB

NURYANTI (34 tahun) dan Tri Setyowati (30 tahun), dua buruh pabrik rokok di PT Sari Tembakau Harum (STH) Cepiring Kendal menangis tersedu dan minta waktu kepada para wartawan yang melakukan kunjungan ke pabrik dengan pekerja 700 perempuan dan belasan pria. 

Dirinya bercerita tentang masa lalu yang terpaksa menjalani hidup sebagai TKI di Malaysia selama 2 tahun (2003-2005). Setelah kembali ke Kendal tahun 2006 dirinya melamar dan diterima bekerja di perusahaan ini yang juga mulai operasi tahun 2006.

“Saya anak no 2 dari 7 bersaudara  bisa membantu orang tua dan membiayai adik-adik lewat bekerja sebagai buruh linting rokok. Juga menjadi tumpuan keluarga saat suami saya sakit dan menkalani operasi. Saya dan 700 buruh yang semuanya perempuan ini risau saat melihat iklan TV tentang rokok yang “bisa membunuhmu” padahal kalau sudah meninggal ya meninggal belum tentu karena rokok” ujar Nuryanti.

Di pikiran sederhana dia, gula juga manis dan kalau kebanyakan gula bisa menyebabkan penyakit gula atau DM tetapi kenapa iklan gula atau kemasan gula tidak ditulisi “Gula Membunuhmu” tetapi rokok ditulis demikian. Belum kalau mendengar berita di TV-TV, Koran-Koran dan berita online, pemerintah selalu menaikkan cukai, membatasi perokok dan tembakau dan lain sebagainya menjadikan dirinya sedih dan prihatin. Takut kalau tidak lama lagi kehilangan pekerjaan yang selama ini membantu membiayai keluarga. Banyak di antara buruh menjadi tumpuan keluarga, ada juga yang janda menghidupi anak anaknya.

Mereka berdua berharap, pemerintah makin arif dalam membuat kebijakan terkait tembakau dan rokok. Tidak hanya memikirkan aspek yang selalu dijddikan alasan pembatasan rokok yaitu kesehatan dan kesehatan saja tetapi juga kehidupan jutaan petani tembakau, cengkih dan buruh rokok yang terancam PHK. Kalau cukai selalu naik, imbasnya daya beli turun, produksi turun, lalu pengurangan buruh rokok. Juga berharap kebijakan pemerintah tidak selalu mengatasnamakan perempuan dan anak terkait rokok karena jutaan buruh perempuan di industri tembakau dan rokok terancam kehidupannya kalau tembakau dan rokok mandeg.

Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia Budidoyo dan Warih S , owner salah satu pabrik rokok di Kendal (PT STH), menyatakan dari berdiri pabriknya di tahun 2006 dengan awal buruh 1.500-an orang selalu menurun dari tahun ke tahun. Saat ini tinggal 700an buruh yang masih bekerja. Ini akibat produksi turun yang dipicu permintaan turun pula dan perokok merasa makin dibatasi dengan berbagai aturan misalnya KTR (Kawasan Tanpa Rokok), kawasan terbatas rokok dan lain sebagainya. Juga pembatasan promosi dan tekanan lainnya secara regulasi. Bahkan para buruh pabrik di Kendal ini sepertinya sudah sangat cemas dengan masa depannya sehingga sebagian besar mengikuti pelatihan ketrampilan kerajinan yang difasilitasi dan dilakukan di pabrik sebagai tambahan penghasilan sekaligus “ancang-ancang” kalau kalau nasib buruk menimpa mereka yang terpaksa tidak bisa bekerja lagi manakala produksi rokok makin kecil. Juga pelatihan penanaman sayur secara konvensional dengan tanah dan secara hidroponik dan berbagai latihan lainnya untuk tambahan uang saku dan ketrampilan para buruh perempuan ini.

“Tembakau dan turunannya selalu terus dimarginalkan, tidak diberi ruang. Pemerintah seakan hanya mau duitnya lewat cukai tinggi tetapi tidak mau masalahnya. Ibarat ayam, disuruh bertelur tetapi tidak dikasih nutrisi atau pakan dan kebebasan mencari pakan. Tembakau sebetulnya komoditi yang sejak dulu mandiri dan  tidak pernah mendapat insentif apapun dari pemerintah dan tembakau serta rokok sebetulnya komoditi paling siap di era pasar bebas ini. Pemerintah harus melihat sekitar 6 juta orang (berserta para keluarganya) pekerja tembakau dan mata rantainya (petani tembakau, petani cengkih dll) saat hendak menelurkan kebijakan menyangkut tembakau, rokok, dan cukai. Beda dengan Singapura atau negara lain yang hanya konsumen rokok, tidak punya pabrik dan buruh rokok, Indonesia sangat unik dengan jutaan buruh dan petani tembakau serta satu satunya di dunia ini yang memproduksi rokok kretek jumlah besar” ujar Budidoyo.

Dari sisi produksi rokok, dari tahun ke tahun selalu turun. Tahun 2016 produksi turun atau berkurang 6 milyar batang, tahun 2017 turun lagi 8 milyar batang dan prediksi sampai akhir 2017 bisa sampai 7 sampai 10 milyar batang penurunannya. Pihaknya kawatir kalau cukai selalu naik, masyarakat perokok akan mencari rokok dengan harga di bawahnya, kalau masih tidak terjangkau akan “tingwe” alias nglinting dewe dan kemungkinan besar mencari dari pasaran rokok illegal yang sudah banyak membanjiri Indonesia saat ini. Riset sebuah perguruan tinggi di Yogya tahun 2016 jumlah rokok illegal saat ini 12,14 persen dari total produksi rokok Indonesia 340 milyar batang. Sangat tinggi, kalau terjadi nantinya masyarakat tingwe atau membeli rokok illegal dari luar negeri dan tanpa cukai maka ngara sangat sangat dirugikan, petani tembakau dan buruh pabrik terpuruk dan berdampak  sangat buruk. Pemerintah maunya untung malahan buntung.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: tomi

Tags

Rekomendasi

Terkini

Libur Nataru, PLN Siagakan 315 SPKLU di Jateng-DIY

Jumat, 19 Desember 2025 | 23:10 WIB

FEB Unimus Gelar Entrepreneurship Expo and Competition

Jumat, 19 Desember 2025 | 20:30 WIB

HISPPI PNF Jawa Tengah Resmi Dikukuhkan

Jumat, 12 Desember 2025 | 16:10 WIB

Kasus HIV/AIDS di Salatiga 1.055 Kasus

Kamis, 11 Desember 2025 | 10:05 WIB
X