Prof Yunahar: Muhammadiyah Tidak Serukan Warganya Ikut Demo 4 November

Photo Author
- Senin, 31 Oktober 2016 | 00:30 WIB

SEMARANG (KRjogja.com) - Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr KH Yunahar Ilyas LC MAg berharap sebaiknya Kapolri cepat memproses sesuai hukum persoalan hukum dimana masyarakat melaporkan Ahok melecehkan para ulama (menganggap ulama berbohong), ayat suci Alquran berbohong (al Maida 51), atau kedua-duanya berbohong. Ini karena Indonesia negara hukum yang UUD 1945 menyatakan setiap warga negara punya kedudukan yang setara di depan hukum.

"Biar hukum yang membuktikan. Kalau tidak segera diproses maka akan terus datang tekanan dari masyarakat, makin besar tekanan, masyarakat mungkin demo berkerumun dan akhirnya rawan disusupi provokator dan makin panas. Kalau akhirnya terjadi tindakan anarkhis dan terjadi kerusuhan maka semuanya yang akan rugi" ujar Prof Yunahar saat mengisi Tabligh Akbar "Ada Apa Dengan Almaida ayat 51" yang digelar oleh DPC Muhammadiyah Semarang Selatan bekerjasama dengan DPW Muhammadiyah Jateng di Masjid At Takwa Komplek RS Roemani, Minggu (30/10/2016). Menurut Ketua DPC Muhammadiyah Semarang Selatan yang juga Ketua Panitia Tabligh AM Jumai, tabligh dalam rangka Milad Muhammadiyah ke 107 dan Hari Bermuhammadiyah Kota Semarang.

Terkait dengan rencana masyarakat melakukan demo besar-besaran tanggal 4 November pada Ahok, Prof Yunahar menyatakan Muhammadiyah tidak menyerukan warganya untuk demo dan kembali bersikap lebih baik memproses persoalan pernyataan Ahok secara hukum. Tetapi Muhammadiyah juga tidak melarang kalau ada warganya secara pribadi yang ikut demo karena demo diperbolehkan di era demokrasi asalkan dilakukan tanpa anarkhis dan harus tertib. Serta peserta demo harus berhati-hati dari kemungkinan provokator yang ingin memancing terjadinya kerusuhan karena melibatkan banyak orang.

Lebih lanjut menurut Prof Yunahar, dirinya mendukung MUI yang menyebut Ahok memasuki wilayah agama dan tidak punya kapasitas menyampaikan statemen yang akhirnya dianggap melecehkan para ulama dan kitab suci. Disebutkan oleh Prof Yunahar dalam memilih pemimpin, umat Islam membedakan antara pemimpin yang karena keahliannya dan pemimpin untuk jabatan publik. Yang karena keahliannya misalnya untuk rumah sakit, perusahaan media dan lain-lain umat Islam boleh memilih pemimpin non muslim, tetapi untuk jabatan politik yang menentukan kebijakan-kebijakan publik misalnya presiden, wapres, gubernur, walikota, bupati, anggota DPR maka Islam telah memberikan garisnya, memilih dari orang muslim. Dan seruan umat Islam untuk memilih pemimpin publik dari kalangan muslim bukanlah tindakan SARA. Karena dalam konteks bernegara, muslim memilih muslim secara UU negara sah dan dijamin UU asal tidak melakukan tindakan yang bersifat deskriminatif. Artinya kalau pemimpin muslim harus tetap menjamin, melindungi siapa saja di negara ini walau dia tidak Islam.

"Seruan masyarakat Muslim agar tidak memilih pemimpin yang non muslim bukan SARA selama berdasarkan ajaran kitab suci. Kalau orang Islam mengutip 4 ayat surat Al Iklas (Qulhu) itu bukan SARA walaupun bertentangan dengan ajaran agama lain. Juga misal agama Kriten menyatakan sesuatu yang bertentangan dengan agama Islam juga tidak bisa disebut SARA kalau berdasarkan kitab suci Kristen. Kalau seorang muslim menyeru pilih pemimpin yang muslim itu hak yang dijamin UU atau institusi, bukan SARA. SARA itu misal kalau kita jangan pilih non musim karena non muslm semuanya jahat misalnya. Kalau hanya seruan berdasarkan agama bukan SARA," tegas Prof Yunahar. (sgi)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: danar

Tags

Rekomendasi

Terkini

Libur Nataru, PLN Siagakan 315 SPKLU di Jateng-DIY

Jumat, 19 Desember 2025 | 23:10 WIB

FEB Unimus Gelar Entrepreneurship Expo and Competition

Jumat, 19 Desember 2025 | 20:30 WIB

HISPPI PNF Jawa Tengah Resmi Dikukuhkan

Jumat, 12 Desember 2025 | 16:10 WIB

Kasus HIV/AIDS di Salatiga 1.055 Kasus

Kamis, 11 Desember 2025 | 10:05 WIB
X