JAKARTA - Transisi energi menjadi hal yang mendesak untuk selamatkan bumi. Demikian diungkapkan staf khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Strategi Percepatan Penerapan Energi Transisi dan Pengembangan Infrastruktur Energi Ego Syahrial, dalam acara Tempo Energy Day 2023 di Jakarta, kemarin.
Kita tahu kebutuhan energi di Indonesia bakal terus meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk yang diprediksi mencapai 330 juta pada 2060.
Namun hingga saat ini, Indonesia masih banyak mengimpor energi fosil untuk memenuhi kebutuhan. "Impor akan meningkat di tahun-tahun berikutnya dan berdampak pada beban keuangan negara," kata Ego.
Baca Juga: Firli Bahuri Jadi Tersangka Pemerasan, Siapa Penggantinya?
Tidak hanya kebutuhan yang meningkat, energi di Indonesia turut dipengaruhi dinamika global. Misalnya, situasi geopolitik yang bisa berpengaruh pada harga. Padahal, pada 2022, untuk memenuhi kebutuhan minyak seluruh kilang saja Indonesia mesti mengimpor lebih dari 36 persen terhadap kebutuhan kilang.
"Begitu juga untuk bahan bakar minyak (BBM), terutama gasoline, yang masih impor hampir 37 persn dari total kebutuhan kita," ujarnya.
Jika jumlah penduduk mencapai 330 juta jiwa pada 2060, Ego melanjutkan kebutuhan energi pun meningkat signifikan. Sementara produksi dalam negeri tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan. Walhasil, situasi itu bakal berdampak pada ketahanan energi.
Baca Juga: Ternyata Tren Pembelian AC dan TV di DIY Alami Peningkatan Dua Tahun Terakhir, Ini Sebabnya
"Pada 2060, demand minyak diperkirakan meningkat dan jika renewable energy kita belum berdampak, kebutuhan energi fosil capai 4,3 juta barel oil per day," ujar Ego.
Adapun saat ini kebutuhan di Indonesia masih berkisar 1,3 hingga 1,4 juta barel oil per day. Karena itu, Ego menegaskan transisi dari energi fosil ke energi terbarukan mesti dilaksanakan. Apalagi Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan (EBT), seperti solar cell, angin, yang kapasitasnya diperkirakan mencapai 3.600 GW.
Direktur Pembinaan Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Mustafid Gunawan, mengatakan, transisi energi adalah salah satu bentuk mitigasi terhadap perubahan iklim. Energi dipilih karena sebagian besar yakni hampir 49 persen dari energi dan transportasi yang ujungnya adalah fosil. "Kenapa gas? Karena gas memang pilihan yang terbaik sebagai transisi energi, dari sisi pencemaran emisi minimal, dari sisi volume juga cukup banyak dan besar sumber daya gasnya, dan terakhir tentu lebuh murah dibandingkan yang lainnya," kata dia.
Baca Juga: Optimalkan Kegiatan, Tim MBKM UAA Realisasikan Kerjasama dengan Dunia Usaha dan Industri
Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Darmawan Prasodjo, mengatakan, bumi memanas, dan masa depan bumi harus dijaga. Adapun penyebab bumi memanas karena ada emisi gas rumah kaca. "Kami ingin menyampaikan bahwa kita harus mengurangi emisi gas rumah kaca dan PLN is fully committed exactly to do," ujarnya.
Adapun, Direktur dan CEO PT Medco Power Eka Satria, mengatakan transisi energi dan net zero emission sudah suatu keharusan. "Tidak hanya harus karena memang dunia membutukan juga potensi bisnisnya sangat bagus. Energi transisi katanya memerlukan (investasi) US$ 1 triliun per tahun ultimatenya US$ 110 triliun dan itu potensi sangat besar," ujar dia.
Karena itu, perusahaannya percaya harus ada transisi. Apalagi, potensi energi baru terbarukan di Indonesia sangat besar yakni 3.700 Giga Watt. "Kami percaya ke depannya dengan potensi sebesar itu kita juga bisa menjadi negara yang bisa juga melakukan ekspor energi, tidak hanya itu saja, kebutuhan energi bersih yang dibutuhkan Indonesia untuk menjadikan Indonesia negara maju bisa tercapai," kata Eka.