Peran Besar Sri Sultan HB IX Pada Serangan Oemoem 1 Maret 1949

Photo Author
- Minggu, 7 Maret 2021 | 10:10 WIB
KPH Yudhahadiningrat. (Foto: Wulan Yanuarwati)
KPH Yudhahadiningrat. (Foto: Wulan Yanuarwati)

YOGYA, KRJOGJA.com - Serangan Oemoem 1 Maret 1949, yang biasa dikenal dengan peristiwa 6 jam di Yogyakarta menjadi peristiwa Internasional yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia.

Pasalnya, peristiwa perang dan baku tembak sengaja dilakukan untuk menunjukkan eksistensi Republik Indonesia di mata dunia sebelum sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Maret 1946.

Dalam hal ini, Raja Kraton Ngayogyakarta Hadniningrat, Sri Sultan HB IX memiliki andil yang sangat besar. Mulai dari ide memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta saat Belanda masuk kembali ke Indonesia pada Desember 1945 hingga komunikasi secara intens dengan pihak luar negeri serta sumbangan material untuk jalannya pemerintahan Republik Indonesia.

"Sultan aktif kontak (berkomunikasi) dengan luar negeri dan akhirnya Sultan mendapat berita dari Voice of America, BBC London dan radio Australia bahwa bulan Maret (1946) akan ada sidang keamanan PBB dan antara lain membahas masalah Indonesia," jelas KPH Yudhahadiningrat pada webinar 'Serangan Oemoem 1 Maret : Sejarah dan Kenyataan', Sabtu (6/3/2021) malam.

Setelah mengetahui informasi penting tersebut, Sultan segera berkomunikasi dengan Jendral Soedirman yang kemudian memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto untuk memimpin jalannya perang.

"Sultan telfon Jendral Soedirman, mengatakan bahwa, kita harus menunjukkan ke dunia Internasional bahwa RI masih ada. Nah syaratnya cuma satu, harus ada perang. Kalah menang gak papa yang penting kita tunjukkan RI masih ada dan syaratnya cuma 1, harus ada perang. Akhirnya Soedirman setuju dengan ide Sultan," papar Yudhahadiningrat.

Perang yang berlangsung 6 jam memakan banyak korban dari pihak Belanda yang kemudian mundur ke Magelang namun maju kembali membawa amunisi dan tank-tank masuk ke Yogyakarta dan mengepung Kraton Yogyakarta.

Sultan mengatakan pada Soeharto agar jangan melawan. Pihak Belanda menyakini bahwa Soeharto bersembunyi di Kraton Yogyakarta dan meminta agar Sultan menyerahkan Soeharto dan para pengikutnya. Sultan dengan tegas mengatakan bahwa mereka tidak di dalam Kraton dan mengertak Belanda.

"Sultan kemudian mengatakan bahwa Soeharto dan pengikutnya tidak ada di dalam Kraton. Akan tetapi kalau kamu maksa masuk Kraton, langkahi dulu mayat saya," ungkapnya menguntip apa yang Sultan katakan pada saat itu.

Mendengar hal tersebut, Mayor Jenderal Meyer sangat kaget namun bersikap tidak gegabah, kemudian meminta ijin kepada Gubernur Jenderal yang pada saat itu mejabat, Johannes Van Mook yang kemudian berkomunikasi kepada Ratu Belanda.

"Lalu (Van mook) minta ijin Ratu Yuliana dan perintahnya: jangan kau usik Kraton karena negara berdaulat. Karena apabila mengusik Kraton akan jadi masalah Internasional, tarik saja dan mundur ke Magelang," jelasnya.

Dampak dari peristiwa itu kemudian dunia Internasional mengakui bahwa Republik Indonesia masih ada, tidak seperti apa yang digaungkan Belanda kepada dunia. Sehingga dalam sidang PBB, diputuskan bahwa Belanda harus meninggalkan Indonesia. Dengan begitu, pasukan Belanda ditarik mundur dari tanggal 14-29 Juni 1949.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: danar

Tags

Rekomendasi

Terkini

KRISNA, Ruang Apresiasi Kerja Kolektif Civitas Akademika

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:15 WIB
X