Ki Edi Suwondo, Pentas Wayang Bergantung Danais

Photo Author
- Sabtu, 21 November 2020 | 15:56 WIB
Ki Edi Suwondo. (Foto : Latief ENR)
Ki Edi Suwondo. (Foto : Latief ENR)

MENGACU sumber daya manusia (SDM), banyak dalang remaja muda berpotensi, dan cukup bisa menjawab tantangan masa datang. Dengan syarat harus terus membaca dan mempelajari dinamika perkembangan sosial politik yang ada. Begitu diungkap Ki Edi Suwondo, Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) DIY.

"Jangan merasa puas, justru sebaliknya harus selalu merasa haus ilmu, sehingga proses belajar tersebut tak pernah putus seiring fenomena global milenial yang tidak bisa dielakkan," kata Wondo.

Dalang muda harus menghindari sikap ela-elu. Jangan mengepigoni dalang lain. "Karena gaya pakeliran hampir senada, menjadikan lengah membentuk jadi diri. Ini kelemahan yang perlu dicermati dan dihindari," tambah warga Pajangan Pandowoharjo Sleman Yogyakarta itu.

Inovasi dan kecerdikan para dalang, kata Wondo, ditunggu. Terutama dalam menarik minat masyarakat agar menyukai penampilannya. Bicara pengganti Ki Seno Nugroho, Wondo menunggu kecerdikan para dalang. Tidak perlu diprediksi. Karena menjadi dalang papan atas banyak syaratnya. Nantinya akan muncul sendiri wajah-wajah baru seperti kriteria di atas.

Wondo tidak sepakat istilah memperebutkan 'posisi kosong' sepeninggal Ki Seno. "Jika diperebutkan, akhirnya seperti politik perang kekuasaan saja. Padahal dalang bukan itu. Apalagi wayangan di DIY, 99,99 persen menggunakan dana keistimewaan," tegas bapak dua anak, kakek enam cucu itu.

Sebagai dalang, Wondo bangga Unesco menetapkan wayang kulit sebagai A Masterpiece of The Oral and Intangible Heritage of Humanity di Paris Prancis, tertanggal 7 November 2003. Terlebih Pemerintah Indonesia melalui Keppres No 30 tahun 2018 menetapkan 7 November sebagai Hari Wayang. Wayang telah tumbuh dan berkembang menjadi aset budaya nasional, dan memiliki nilai sangat berharga dalam pembentukan karakter dan jati diri bangsa.

"Itu jaminan kepastian hukum sebagai perlindungan hak hidup kepada para seniman pedalangan, termasuk wiyaga, sinden, penatah, dan penyungging wayang. Semacam ada optimisme masa depan. Itu merupakan tugas dan tanggung jawab moral pemerintah pada rakyatnya yang selama ini penuh ketidakpastian," urai Wondo.

Menolak Sistem Monopoli

MEMIMPIN organisasi dengan anggota lumayan banyak, tidak gampang. Terlebih anggota njagakke organisasi demi mendapat 'kerjaan'. Realitas yang bisa bikin pusing.

Itu yang dirasakan Ki Edi Suwondo, Ketua Pepadi DIY. Sekitar 500 dalang --dari anak hingga sepuh bernaung di bawah Pepadi. Dan para dalang tersebut butuh pentas.

Di era sekarang, pentas wayang kulit mengandalkan dana keistimewaan. Jika ada pentas person, jumlahnya tidak sebanyak masa lalu. Kenyataan ini menjadi perhatian Pepadi. Maka konsep pemerataan pentas menjadi acuan utama. Wondo menolak sistem monopoli.

"Sebagai ketua, tidak hanya mikir dan kepikiran masalah teknis. Sering pula menjadi ajang curhat para dalang yang tidak pentas. Dan karena tidak pentas, tidak ada pemasukan. Keluh mereka sangat menyedihkan," beber kakak kandung pelawak Bambang Rabiyes itu.

Wondo dalam menjalankan tugas Pepadi DIY dibantu Ki Udreka SSn MSn (Ketua 1 Bidang Wayang Klasik), Ki Aneng Kiswantoro (Ketua 1 Bidang Kreasi), dan Ki Yuwono SKar (Ketua 3 Bidang Kesejahteraan).

Terjadinya monopoli, Wondo merasa perlu ada pertemuan beberapa pihak. "Pepadi, Dinas Kebudayaan DIY dan kota/kabupaten, serta komunitas dalang lain, perlu duduk bersama, bikin aturan supaya semua terlindungi. Kaitannya dengan nilai kemanusiaan," ucap dalang berusia 58 tahun itu.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

KRISNA, Ruang Apresiasi Kerja Kolektif Civitas Akademika

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:15 WIB
X