Kemunculan Ular di Kraton Pertanda Baik?

Photo Author
- Rabu, 21 Oktober 2020 | 18:21 WIB
Kraton-2
Kraton-2

YOGYA, KRJOGJA.com - Tersebarnya foto seekor ular melingkar di tiang Bangsal Magangan Kraton Yogyakarta beberapa hari terakhir membuat banyak spekulasi bermunculan. Ada yang mengaitkan dengan hal-hal terjadi kedepan di Kraton maupun wilayah DIY.

Dr Purwadi, Ketua Lembaga Olah Kajian Nusantara (Lokantara) mengatakan sejarah simbol ular di kerajaan Pulau Jawa selalu dikaitkan dengan kemakmuran ibu pertiwi yang dimulai tahun 356 ketika Prabu Kusumawicitra, Raja Pengging mengadakan upacara sesaji Naga Suweda. Bersama dengan pangageng sentana abdi dalem, Kraton Pengging ngadani wilujengan negari yang tujuannya untuk mendapat keselamatan lahir batin.

“Upacara sesaji Naga Suweda diikuti oleh para bupati Bang Wetan, Bang Kulon dan pesisir. Uba rampe yang disediakan terdiri dari aneka ragam hasil bumi. Palawija, pala pendhem, pala gumandhul, pala kesimpar, pala kitri yang melambangkan kesuburan. Tiap tahun tradisi adat ini dilakukan untuk menghormati Sang Hyang Basuki atau Batara Nagaraja. Berkuasa di dasar bumi, yaitu Kayangan Sapta Pratala. Putrinya seorang widodari cantik jelita bernama Dewi Nagagini. Sang Hyang Basuki berupa seekor ular besar. Beliau bertugas untuk menjaga keselamatan tanah,” ungkap Purwadi, Rabu (21/10/2020).

Kerajaan kahuripan, Daha, Singasari jenggala, Kediri, Malawapati, Majapahit senantiasa menyelenggarakan upacara sesaji Naga Suweda namun cara wilujengan negari sesaji naga suweda sempat berhenti tahun 1479 pada masa kerajaan Demak Bintara yang sempat melarang acara tradisi. Tiba tiba muncul pageblug mayangkara, banjir bandang, gempa bumi, cleret tahun, angin lesus silih berganti.

“Rakyat Demak Bintara gelisah. Pagi sakit, sore tumekeng pati. Malam berkeluh kesah, siangnya jadi layatan. Kota gaduh, desa ricuh, gunung rusuh. Pageblug mayangkara harus diatasi. Pemimpin mesti turun tangan, cancut taliwanda. Pembesar Kerajaan Demak segera mencari solusi. Dewan wali sanga bersidang di Sasana Sumewa pada tanggal 15 Januari 1480. Hadir Kanjeng sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Drajad, Sunan Gunung Jati, Sunan Giri, Sunan Ampel, Sunan Magribi, Sunan Bonang. Musyawarah dewan wali sanga menghasilkan keputusan penting di mana Sultan Demak Bintara, Raden Patah Syah Alam Akbar Jimbun Sirullah diharapkan untuk menyelenggarakan upacara wilujengan negari naga suweda. Raja Demak pun patuh. Upacara sakral dilakukan dengan serius. Bencana pun sirna, wabah juga pergi. Masyarakat hidup ayem tentrem kembali,” sambung Purwadi.

Mulai itulah ular bagi kebudayaan Jawa ditempatkan dalam posisi yang terhormat dan mulia. Tak heran bila hiasan-hiasan dinding, lukisan atau patung ular maupun naga kerap ditemui di bangunan-bangunan Kraton.

“Terkait dengan rawuhnya naga minulya di kompleks Karaton Yogyakarta, tentu ini tanda baik. Yogya berarti anggun, indah, cantik, pantas, patut. Karta berarti kerja, karya, hasil. Yogyakarta selalu menghadirkan produksi dan kreasi yang prima. Warga Yogyakarta akan mendapatkan kawibawan kawidadan kabagyan sarta kamulyan sejati, naga minulya memberi kemuliaan,” ungkapnya lagi. (Fxh)

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: tomi

Tags

Rekomendasi

Terkini

KRISNA, Ruang Apresiasi Kerja Kolektif Civitas Akademika

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:15 WIB
X