PERMAINAN layang-layang yang beberapa pekan terakhir marak, menurut Ki Hadi Suryo Pamungkas bukan suatu kebetulan. Pada saat bersamaan di China juga sedang musim lampion.
“Permainan dengan menerbangkan sesuatu ke angkasa dan menjadi semacam musim, itu bukan kebetulan. Ada pertanda alam di balik fenomena tersebut,†katanya.
Layang-layang dan lampion yang diterbangkan ke udara menjadi simbol kebebasan. Orang-orang yang memainkan layang-layang dan lampion, mengekspresikan jiwa kebebasan. Ketika akan menerbangkan, ada harapan layang-layang bisa terbang dan mengangkasa.
“Itu seperti proses kehidupan. Sekarang sedang terbangun kesadaran masyarakat untuk ‘menaikkan’ harapan. Menerbangkan harapan, disertai strategi dan teknik yang pas agar bisa mencapai apa yang diharapkan,†katanya.
Layang-layang dan lampion, lanjut paranormal yang akrab disapa Mbah Hadi ini, merupakan tanda-tanda bahwa Nusantara telah masuk ke zaman kalasuba. Kalasuba dimaknai sebagai era kembalinya kejayaan, setelah lepas dari zaman Kalatida.
Ini berada di masa transisi. Tepatnya 15 Sura lalu kita memasuki zaman Kalasuba. Berada di masa transisi, peralihan dari kalatida masuk kalasuba, diawali berbagai peristiwa yang sifatnya membersihan. Pagebluk dan bencana alam menjadi peristiwa penyerta era transisi.
Mbah Hadi menambahkan, pandemic Covid 19 merupakan bagian dari penanda kita berada di zaman transisi antara kalatida dan kalasuba. Setelah ini, mesti harus diwaspadai adanya potensi musibah bersumber dari tanah dan air.
“Siklusnya memang seperti itu. Seperti orang bercocok tanam di sawah. Ketika tanaman padi diserang hama, lalu tanaman dipotong dan dibakar. Dibiarkan jatuh ke tanah. Karena terkena proses pembakaran yang panas, tanah jadi retak-retak. Lalu dialiri air. Tanaman yang dulu terkena penyakit, setelah menyatu ke tanah dan direndam air, menjadi pupuk penyubur tanaman padi berikutnya,†papar Mbah Hadi.
Pimpinan Padepokan Caroko, Bangunjiwo Kasihan Bantul ini menambahkan, siklus yang akan terjadi pada masa transisi memasuki zaman kalasuba akan seperti itu. Corona diibaratan sebagai hama penyerang tanaman padi. Manusia ibarat sebagai padi yang tumbuh di sawah. Korban corona yang tak terselamatkan akan dikubur menyatu dengan bumi.
“Setelah pandemi corona, masih ada ancaman musibah bersumber dari tanah. Bisa tanah longsor, bisa pula gempa bumi dan gunung meletus. Selanjutnya akan ada rangkaian ancaman bencana dari air. Setelah itu, secara spiritual, alam bersih. Hadirlah zaman kalasuba yang akan memerbaiki tatanan kehidupan,†jelasnya.
Dalam kosmologi Jawa dikenal tiga skenario besar sebagai gambaran zaman yang akan dilalui umat manusia, terutama yang hidup di Nusantara. Pertama adalah zaman kalabendu, identik dengan kekelaman. Zaman ini segala kehidupan kacau. Yang menikmati kekacauan itu hanya satu kelompok, yaitu penguasa.
Kedua adalah zaman kalatida, zaman transisi. Ini tergambar dalam karya Raden Ngabehi Ronggowarsito yang mengurai tentang kehidupan pribadinya di era kepemimpinan raja yang mencurigainya. Intrik dan fitnah menggeliat, dan itu menempatkan sang pujangga dalam situasi yang sulit.