BANTUL, KRJOGJA.com - Kalau mau jujur, pertolongan dan penanganan bencana sebagian besar datang terlambat. Hal ini terjadi karena pendekatan pertolongan dan penanganam bencana bersifat top down. Untuk itu, pendekatan pertolongan dan penanganan risiko bencana sebaiknya berbasis komunitas harus sering dilakukan.Â
Kenyataanya, masyarakat merupakan yang pertama kali menghadapi bencana. Setelah itu, upaya pengurangan risiko bencana di berbagai sektor, seperti rumah sakit, kampus dan berbagai lapisan masyarakat jadi gerakan penyadaran.
Demikian yang mencuat dalam Seminar Nasional dan Simulasi Gempa Bumi di Gedung Bertingkat di kampus 4 Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Tamanan Banguntapan Bantul, Senin (29/04/2019). Seminar bertema 'Upaya Pengurangan Risiko Bencana di Berbagai Sektor' diselenggarakan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) bersama Perhimpunan Ahli Kesehatan Kerja Indonesia (PAKKI), Pusat Studi Mitigasi dan Penanggulangan Bencana (PSMPB) UAD untuk menandai Hari Kesiapsiagaan Bencana 2019.
Seminar menghadirkan narasumber Dholina Inang Pambudi MPd (Ketua Pusat Studi Mitigasi dan Penanggulangan Bencana/PSMPB-UAD), Wahyu Damayanti SKM MM (Ketua Perhimpunan Ahli Kesehatan Kerja Indonesia/PAKKI, Praktisi K3 RSUP Sardjito), Oktomi SKM MSc (dosen K3 FKM-UAD) dan Budi Santosa SPsi (Ketua Divisi PRBK-MDMC) dengan moderator Muchmad Rifai SKM MSc. Seminar dibuka Lina Handayani SKM MKes PhD, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UAD.
Menurut Budi Santosa, sebagian besar pertolongan datang terlambat sehingga mereka harus dapat menolong diri sendiri pada golden time atau waktu emas. "Masyarakat adalah pihak paling mengenal tingkat kerusakan akibat bencana," ujarnya. Dari pengamatan Budi Santosa, pola pendekatan penangan bencana bersifat top down gagal untuk mengenal kebutuhan lokal masyarakat yang rentan. "Bahkan mengabaikan kapasitas dan sumberdaya yang potensial dan di beberapa kasus meningkatnya kerentanan," ucapnya.
Dalam seminar tersebut, Budi Santosa menyampaikan pemaparan pengurangan risiko bencana berbasis komunitas. Cara yang bisa dilakukan antara lain sebelum terjadi bencana dilakukukan pemberdayaan, melatih bagaimana melakukan penanganan. "Bagi masyarakat di lereng Gunung Merapi tentu mengenal siklus 4 tahunan, setiap 4 tahun sekali Gunung Merapi meletus. Kondisi seperti apa yang harus dilakukan sebelum meletus?" tuturnya.Â
Kesiapsiagaan itu yang terpenting sumber daya manusia, manajemen menangani bencana, komunitas sungai, anggota PKK diberi pemahaman upaya pengurangan risiko bencana.
Sementara itu, Dholina Inang Pambudi menegaskan, seminar dan simulasi ini terselenggara sebagai wujud kontribusi kampus terkait usaha pengurangan risiko bencana. Untuk memperluas wawasan dihadirkan pula praktisi yang menangani bencana di rumah sakit, penanganan kesehatan di pengungsian akibat bencana.