Ramadhany Rahmi, a menceritakan bagaimana pengalamannya sebagai pendamping penyintas perempuan pada pacaran dalam lingkaran komunitas remaja tuli. Banyak hambatan serta tantangan yang dihadapinya.
Salah satunya adalah keterbatasan pemahaman teman-teman tuli dalam mengintepretasikan sesuatu, sehingga dia dan para pendamping maupun juru bahasa isyarat lainnya harus secara perlahan menjelaskan serta juga detail.
Tidak hanya itu, Ramadhany Rahmi juga menjelaskan bahwa sebenarnya dalam komunitas teman tuli, istilah yang mereka gunakan untuk menyebutkan keadaan diri mereka bukanlah penyandang disabilitas tuna rungu, akan tetapi tuli yang lebih ramah bagi mereka.
Hal itu berkenaan dengan makna tuna dalam Bahasa Indonesia yang diartikan sebagai rusak dan makna negatif lainnya. Kemudian pada materi kedua, disampaikan oleh Andrie Irawan SH MH, mengenai kekerasan dalam pacaran di lihat dari aspek hukum.
Andrie menyampaikan mengenai beberapa bentuk kekerasan, seperti kekerasan fisik, kekerasan psikis atau emosional, kekerasan seksual, serta kekerasan ekonomi. Andrie juga menyebutkan mengenai kasus teman-teman difable yang pernah dia dan PKBH SAPA tangani.
Salah satunya adalah kasus kekerasan seksual berbasis kekerasan dalam pacaran yang dialami oleh difabel sensorik/tuli dan difable intelektual. Sependapat dengan Ramadhani Rahmi. "Cukup sulit untuk menjelaskan konsep adanya 'penipuan' maupun 'bujuk rayu dan kebohongan kepada teman tuli pada kasus tersebut. Karena konsep itu dianggap asing oleh teman-teman tuli," kata Andrie menyampaikan.
Kemudian, dalam materinya Andrie juga mengemukakan kecenderungan para penyintas kekerasan dalam pacaran, yaitu adanya Stockholm syndrome, yaitu ketidakmampuannya (penyintas) melepaskan diri dari pelaku dengan alasan emosional. (*)