Sulap Limbah Kertas Jadi Karya Seni, Sardiman Tidak Butuh Penghargaan

Photo Author
- Jumat, 26 Oktober 2018 | 21:09 WIB

SAAT pertama kali berkunjung ke kediamannya di belakang pasar Lempuyangan, Yogyakarta, orang akan tahu bahwa pemilik rumah ini pastilah seorang yang sangat menyukai topeng. Lebih dari 20 topeng berbagai bentuk dan ukuran bertengger di hampir setiap sudut dinding ruang tamu. Usut punya usut, topeng-topeng ini ternyata terbuat dari limbah kertas; koran, kardus dan kertas bekas.

Ialah Sardiman atau Sardi Beib akrab ia dipanggil, lelaki 58 tahun sang empunya rumah yang menekuni seni topeng sejak 8 tahun belakangan. Awalnya, pada HUT JOGJA ke-254 tahun 2010 silam, ayah 3 orang anak ini diminta oleh Ketua RW untuk menjadi koordinator tim karnaval. Kebetulan dulu saat SMP, ia pernah diajarkan membuat prakarya dari bubur koran. Ia pun membuat ledek gogek, boneka yang seolah-olah sedang menggendong manusia di belakangnya.

“Dari buat ini (ledek gogek) banyak sisa bubur korannya. Daripada dibuang, saya coba-coba bikin topeng,” ungkap pensiunan LIPI ini yang memilih untuk pensiun dini karena kuatnya panggilan jiwa seni. “Jiwa saya tidak mau terkekang. Lebih suka jadi orang merdeka. Jiwa seni itu manggil-manggil terus,” ungkapnya.

Sardi pun berpikir untuk membuat hal ini menjadi sesuatu yang berkelanjutan. Limbah kertas yang sangat mudah ia temui sehari-hari ini akan berdampak banyak bagi lingkungan dan ekonomi jika diubah menjadi sesuatu yang menjual. Kepada KRJogja.com ia mengungkapkan keprihatinannya tentang banyaknya limbah kertas yang terbuang begitu saja.

Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kertas,di Indonesia saja, belasan juta pohon ditebang tiap tahunnya. Akan sangat menyedihkan bila kertas-kertas itu dibuang ke kotak sampah dan berakhir jadi abu. Selain itu, tambahnya, mengubah limbah kertas menjadi suatu karya seni yang bernilai ekonomis seperti topeng tentu saja akan menguntungkan. Harga satu kilogram kertas berkisar RP 3.000 –Rp 4.000 dan bisa menghasilkan 15 topeng yang jika dijual bisa mencapai harga Rp 50.000 hingga ratusan ribu rupiah.

Dari sanalah Sardi menemukan misi hidup di hari tuanya; menjaga lingkungan dengan merecycle limbah kertas menjadi sesuatu yang bernilai dan menciptakan Sardiman-Sardiman baru, seniman yang cinta lingkungan. Kampanye lingkungan hidup ini ia mulai sejak 2010 dengan membuka Sanggar Topeng yang mengajak anak-anak di sekitar rumahnya untuk belajar.

Bahan dasar, yaitu kertas yang telah direndam air dan dicampur lem kayu, kertas koran kering, cat minyak dan triplek sebagai alas disediakan sendiri oleh Sardi. Anak-anak hanya perlu membawa mangkok untuk cetakan, tidak perlu membayar sama sekali. “Mereka ikut belajar aja saya sudah seneng,” pungkasnya. “Tuh, tuh, bagus, kan?,” dengan antusias ia memperlihatkan layar handphone yang memuat foto topeng hasil karya para anak didiknya. Tidak ada bangunan dan plang nama khusus yang bertuliskan “Sanggar Topeng”, kegiatan sanggar dilakukan di rumah Sardi atau di balai RW sesekali.

Namun sekarang, sanggar tersebut kian tak menentu jadwalnya. Kadang ada, kadang tidak. Anak-anak yang dulu dididiknya semakin beranjak dewasa dan kehilangan ketertarikan pada bidang ini. Kampanye pun lebih banyak ia lakukan melalui workshop. Sardi Beib sering diundang ke sekolah-sekolah, komunitas dan event kesenian. Tidak pernah sekalipun dirinya mematok bayaran, seikhlasnya saja dengan semua alat dan bahan yang dibawanya dari rumah.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Administrator

Tags

Rekomendasi

Terkini

KRISNA, Ruang Apresiasi Kerja Kolektif Civitas Akademika

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:15 WIB
X