YOGYA (KRjogja.com) - Upaya mendapatkan keadilan dari WNI suku Tionghoa yang merasa mendapatkan diskriminasi dari oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN) DIY yang menolak dan tidak mau melayani balik nama hak milik tanah, akhirnya mendapatkan titik terang dari Ombudsman RI perwakilan DIY. Hasil pemeriksaan dengan kesimpulan para terlapor oknum BPN telah melakukan maladministrasi dan diskriminasi.
"Perbuatan oknum BPN kami laporkan ke Ombudsman RI perwakilan DIY, dengan kesimpulan tersebut para terlapor oknum BPN diberi kesempatan 30 hari untuk mengoreksinya," papar pelapor Ir Z Siput L kepada KRJogja.com Sabtu (17/2).
Siput menyebutkan laporan berawal saat istrinya membeli sebidang tanah 2500 m2 di Kulonprogo, tetapi waktu mengurus sertifikat hak milik ditolak BPN dengan alasan Surat Instruksi Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dengan nomor K898/I/A/1975, tertanggal 5 Maret 1975. Surat itu melarang warga nonpribumi memiliki hak milik tanah di Yogyakarta.
"Selain saya ada warga Yogya Eni Kusumawati yang tahun 2013 membeli dua bidang tanah di Ngestiharjo, Kabupaten Bantul. Eni juga tidak mendapatkan SHM, kemudian beserta kuasa hukumnya, Willy Sanjaya, mengadukan masalah tersebut ke ORI tiga tahun setelah membeli tanah," papar Siput.
Diskriminasi atas kepemilikan tanah bagi warga Tionghoa di Yogya ini lanjut Siput, memunculkan Gerakan Anak Negeri AntiDiskriminasi (Granad) yang melakukan aksi protes terkait pemberlakuan surat instruksi yang pemberlakuan menimbulkan diskriminasi di kalangan warga.
"Kesimpulan Ombudsaman DIY membanggakan dan menggembirakan bahwa DIY yg merupakan city of tolerance dan pusat budaya sudah seyogyanya para pejabatnya memberi contoh untuk taat Peraturan Perundangan, tidak boleh melakukan perbuatan diskriminatif terhadap warganya," tegas Siput yang juga menunjukkan salinan kesimpulan Ombudsman DIY. (M-3)