Setengah Abad Berjualan Uang Kuno, Mbah Gito Diburu Pembuat Mahar

Photo Author
- Kamis, 8 Februari 2018 | 17:43 WIB

YOGYA, KRJOGJA.com - Menggunakan kebaya dan kain jarik serta kulitnya yang sudah keriput, Gito Wiyono (86) atau Mbah Gito dengan suara lirih menawarka barang dagangannya di sebuah gang kecil sisi utara pasar Beringharjo, Yogyakarta. Perepuan asal gamping asal Gamping Sleman ini masih menunjukkan semangatnya untuk berjualan meski usia sudah tak muda lagi. Berderet toples dan wadah kecil berisikan uang koin dan kertas dipajangnya berharap ada pengunjung datang dan membelinya.

Di lapak yang hanya terletak di emperan toko kelontong ini Mbah Gitu sudah setengah abad lamanya bertahan melayani jual beli uang kuno yang kini laris dicari untuk mahar pernikahan atau sekedar koleksi benda bersejarah. Tak hanya itu, bandul timbangan berbahan kuningan, timbangan, hingga sendok dan garpu menjadi dagangan andalan Mbah Gito.

"Ini ada uang 2 rupiah, 5 rupiah, 10 rupiah 25 rupiah, 50 rupiah, dan 100 rupiah. Sudah sejak dulu jualannya mungkin sudah ada 50 tahun dari saya belum unya anak sampai sekarang sudah punya 2 buyut. Kalau uang kuno ini yang banyak membeli pembuat mahar untuk acara pernikahan," kata Mbah Gito sembari menunjukkan berbagai jenis koin yang dijualnya kepada KRJOGJA.com, Kamis (08/02/2018).

Uang kuno yang beredar di Indonesia sekitar tahun 1960-1970an ini ternyata memiliki keunikan tersendiri. Bukan hanya uang koin beberapa uang kertas dengan nominal Rp 100 dengan gambar perahu layar berwarna merah dan uang Rp 500 yang bergambar Orang Utan berwarna hijau juga masih ada dengan kondisi yang tersimpan bagus.

"Kalau untuk jualnya ya tergantung sudah langka atau masih banyak uangnya, biasanya dijual dari harga Rp 5.000 sampai Rp 40.000. Sementara untuk mendapatkan uang-uang itu biasanya juga ada yang menjual kepada saya," imbuhnya.

Membuka lapaknya dari pukul 08.00 pagi sampai 16.00 sore, Mbah Gito mengisahkan suka dukanya dalam berjualan uang kuno. Dikatakannya, jika musim pernikahan atau banyak hajatan memang dagangannya di buru banyak orang bahkan pembeli dari luar daerah seperti Solo, Magelang, Klaten bahkn hingga juga Surabaya.

Namun ada kalanya saat bulan puasa dan bulan dimana orang sedikit mengadakan hajatan maka dagangannya juga sepi. "Kalau pas tidak musim manten ya sepi karena yang mencari uang kuno sepi, makanya saya juga menjual seperti timbangan, sendok atau garpu bekas, dan barang-barang yang layak jual untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari," ujarnya.

Meski seringkali anak dan cucunya mengimbau agar Mbah Gito berhenti berjualan dan menghabiskan waktu tuanya di rumah bersama keluarga namun Mbah Gito berkeinginan lain. "Ya sekalian untuk beraktivitas, mengisi waktu tua kalau hanya dirumah terus badan malah sakit-sakitan karena sejak muda sudah terbiasa jualan. Yang penting hati-hati dan bisa sedikit meringankan beban anak-anak," pungkasnya. (*-3)

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: ivan

Tags

Rekomendasi

Terkini

KRISNA, Ruang Apresiasi Kerja Kolektif Civitas Akademika

Minggu, 21 Desember 2025 | 21:15 WIB
X