TULISAN ini ingin menyoroti budaya visual yang semakin menjorok kepada kebutuhan hidup pragmatisme, sehingga kesadaran diri terhadap budaya asal menjadi luntur. Padahal, dalam pembangunan karakter bangsa masih dibutuhkan nilai-nilai dan budi pekerti lama yang dianggap relevan. Kehidupan pragmatisme yang didasari hedonitas, menyebabkan penikmat lupa dan terlena kemasan luar atau fisik kekinian yang dianggap lebih menjanjikan kenikmatan (John A Walker & Sarah Chaplin. 1997).
Sebenarnya budaya visual ini lebih mudah dicerna daripada budaya tulis atau oral, walaupun masih dibutuhkan interpretasi yang tepat. Penganut budaya visual masyarakat transculture seperti di Indonesia yang sedang berada pada transisi urban lebih menyukai hal tersebut. Sifat ini menjadikan sebagian pengikut budaya visual melupakan asas atau dasar budaya induknya.
Kuasa Budaya
Budaya visual dapat juga dikatakan sebagai budaya material sengaja dikemas oleh pembuatnya agar dapat menguasai pikiran penganutnya. Titik utamanya adalah menguatkan kuasa budaya dalam berkehidupan. Haryatmoko (2010) menyindir sebagai usaha dominasi kekuasaan penuh tipu muslihat. Pesan tersebut dikemas sangat halus melalui estetika, desain dan kemasan visual sehingga menyebabkan sulit dibaca tetapi menyenangkan (Chris, 1995). Apalagi, produk budaya visual ini didasari dengan penciptaan berbasis paralogisme. Dimana prinsip paralogisme adalah memberi kebebasan mengobjektivikasi, menginterpretasi maupun mengekspresikan dalam produk visual tersebut berdasarkan ide penikmat.
Semisal ilustrasi sebuah promosi produk; dimunculkannya figur perempuan dan produk industri dirancang dengan tujuan menarik, menyenangkan, menawarkan dan mempersuasi penikmat agar terbui imajinasinya. Perempuan sebagai eye catcher didandani dengan busana wearable art yang semestinya dikenakan untuk hal khusus, tetapi justru menjadi panutan busana. Tentu saja terjadi diskusi atas ‘petautan’. Di sisi lain, ideologi kekuasaan terus-menerus dibangun untuk menguasai penikmat dengan: trend mode fashion, lowbrow dan meme atau karikatur sengaja dirancang humoritasnya tinggi. Humoritas ini untuk memancing pikiran agar menginterpretasi sebagai lelucon. Maka, akan mengalihkan situasi menjadi ringan dan menyenangkan, namun sebenarnya adalah alat untuk mendangkalkan konsentrasi penikmat.
Kondisi Bangsa Indonesia masih mencari budaya yang tepat dalam membangun. Karenanya dalam kurikulum pendidikan formal terangkatkan ‘pendidikan karakter’, namun titik pijaknya berbeda. Walhasil belum dipenuhi pemecahan secara permanen. Demikian pula pemikiran budaya visual masih tetap menjadi gagasan pembicaraan agar dimasa yang akan datang mampu memverifikasi diri. Perlu juga mengubah strategi pembelajaran yang tepat dengan approach, method and technique yang disesuaikan. Permasalahan ini belum menjadi pijakan pemikiran atas melebarnya pemahaman literasi budaya.
Beberapa subject matter dalam pendidikan formal belum disadarkan untuk mengemas pendidikan literasi visual. Persoalan literasi ini perlu mengemuka manakala Yogyakarta sebagai basis budaya visual yang semestinya dapat mempengaruhi pembangunan kurikulum pendidikan formal. Dengan pemantapannya program ‘Keistimewaan’ semestinya menjadikan titik awal keberlangsungan pendidikan literasi visual.
Harus Berperan